Habis Tekad, Terbitlah Nekat, Sebuah Renungan!
Ketika Jokowi pertama kali memasuki Istana Negara sebagai Presiden RI yang ke-7, gelora kebangkitan nasional dengan kejelasan nasionalisme sebagaimana arahan para pendiri Republik, begitu membahana. Kaum Nasionalis pun sontak merapatkan barisan memberikan apa yang mereka miliki sebagai komitmen memberikan dukungan penuh kepada presiden pilihan rakyat kali ini. Disamping presiden kali ini berasal dari kalangan rakyat sangat biasa, dalam kesehariannya pun ia tampil dengan segala kesederhanaannya. Histeria rakyat yang merasa terwakili kehadirannya di Istana Negara lewat figur Jokowi yang sangat merakyat, langsung mencurahkan cintanya full kepada presiden pilihan mereka kali ini.
Terlebih lagi ketika Jokowi dengan lantang dan gagah berani mencanangkan tekadnya untuk kembali ke jalan Trisakti ajaran Bung Karno. Ditambah lagi dengan tekad melakukan Revolusi Mental yang tentunya membuka harapan tentang terbangunnya kerangka negara bangsa yang kuat melalui program politik ‘Nation and characters building’. Kontan saja ‘tekad’ luar biasa yang dicanangkan Jokowi ini membuat barisan kaum Nasionalis hingga ke tataran kaum sepuh yang telah lama merindukan hadirnya tekad ini, menjadi bangkit dari lesu dan kembali bangkit bekerja sepenuh jiwa raga. Mereka terbakar oleh semangat nasionalisme yang disuarakan dan digelorakan lewat tekad Jokowi ini.
Sepanjang masa kepresidenannya pada periode pertama, ornamen-ornamen hasil kerja politik yang mewakili tekad Jokowi ini, memang terasa bermunculan. Dengan gebrakan pengambilan kembali saham terbesar Freeport ke tangan Republik Indonesia, hal ini menjadi buah bibir yang sangat mengharumkan nama Jokowi. Perhatian Jokowi pada masalah kesehatan rakyat yang menggratiskan layanan kesehatan pada rakyat tak mampu dengan program BPJS yang dirasakan langsung oleh masyarakat, hal ini pun kian membuat mayoritas rakyat semakin jatuh cinta. Begitu juga pembangunan masif infrastruktur di berbagai daerah yang selama ini tak terjamah. Listrik menyala hingga ke pelosok desa daerah terpencil yang berpuluh tahun tak tersentuh cahaya listrik Perusahaan Listrik Negara. Dan masih banyak lagi cerita sukses yang tak dapat dibantah kebenarannya.
Tekad yang indah dan kerja nyata yang terukur dan terbaca dengan cukup membanggakan ini, jelang memasuki hajatan agar kembali terpilih untuk kali kedua, mulai terasa ada penurunan dan pergeseran nilai. Berawal dari melangsir desain politik menaikkan Presidential threshold dari 15% menjadi 20%, mulailah terasa terjadi peregesar nilai ‘tekad’ menjadi lebih agresif sehingga mewujud menjadi ‘nekat’. Alhasil permainan politik presidential threshold ini, walau sukses menjadikan diri Jokowi terpilih kembali menjadi Presiden untuk periode kedua kali, tapi desain politik ini meninggalkan catatan merah karena terbukti rakyat menjadi terbelah dua. Pro Nasionalis di satu sisi, dan pro Agamis di sisi lain. Hal yang tentunya melenceng dari tujuan berdasarkan ‘tekad’ yang ia canangkan di awal kepemimpinannya sebagai presiden yang baru terpilih.
Semakin menjadi dan kian terasa pergeseran nilai ‘tekad’ menjadi ‘nekat’ pada awal pemerintahan periode keduanya. Mulai dari pilihan Jokowi saat mengumumkan susunan kabinet dan stafsus millenials yang luar biasa spektakuler dan sensasionalnya. Belum lagi munculnya figur sang ‘Super Minister’ almost president de facto! Masalah Omnibus Law, disusul dengan reshuffle yang tak kalah sensasionalnya. Sangat kuat mengesankan betapa Jokowi sangat pro pengusaha sukses. Tak perduli apakah diri mereka dan pemahaman tentang kultur dan naturnya Indonesia dengan segala kesejarahan dan cita-cita kemerdekaannya dipahami dan dijiwai oleh mereka. Pokoknya sukses di usaha bisnisnya, diasumsikan dan dipercaya akan mampu mengelola tanggungjawab kementerian yang bertugas menjalankan amanat UUD’45 dan cita-cita merdeka rakyat Indonesia. Sementara banyak pendapat yang mengatakan bahwa mengelola perusahaan bisnis dan mengelola urusan negara ada hal fundamental yang sangat berbeda. Tapi hal ini agaknya tak dianggap penting.
Tragisnya lewat jalur politik kepartaian, dua menteri terlibat korupsi. Semata karena bidang kehidupan yang sangat mendasar dan sangat penting dengan nekad disepelekan. Reshuffle pun tak terhindarkan. Beruntung bagi satu menteri yang ditugasi mengurusi masalah sangat mendasar, Pendidikan dan Kebudayaan, masih bertengger tak tergoyahkan. Bahkan konon akan ditambah kekuasaannya untuk menangani bidang Riset dan Teknologi yang kementeriannya terancam akan dilikuidasi. Ini pun salah satu bentuk nekat yang luar biasa menonjol. Masalah pendidikan yang masih amburadul tak tertangani, bahkan dan apalagi Kebudayaan yang tak terjamah kebijakan sedikit pun, pak menteri muda ini masih dianggap mampu memikul beban tambahan menangani kegiatan Riset dan Teknologi nasional.
Juga seputar polemik tidak berfungsi atau tidak berjalannya operasionalisasi lembaga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Masalah ini pun merupakan hal yang tergolong dalam kategori nekad. Karena tersiar kabar hanya dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan dari salah satu partai penguasa mengenai susunan kepengurusan BRIN, BRIN bisa mandeg tak berfungsi. Padahal BRIN adalah lembaga penentu akan maju dan mundurnya Indonesia di masa depan.
Hal yang paling disayangkan, terutama oleh para sepuh yang benar-benar mencintai Jokowi sebagai figur harapan dan panutan, ketika dengan santai dan nekad membiarkan sang putra dan mantu ikut memperebutkan kursi kekuasaan di daerah. Sangat disayangkan penafikannya seakan tak terjadi power abuse. Dalam hal ini sangat mubazir adanya lembaga penasihat presiden dan lembaga Kepala Staf Kepresidenan yang mandul fungsi menjaga nilai dan marwah presiden sebagai figur harapan dan panutan. Dalam kaitan ini hanya melalui jendela dan kaca mata kebudayaan persoalan anak-mantu nyalon menjadi persoalan. Karena dari kacamata politik selama tidak melanggar aturan dan Undang-undang apa salahnya? Sementara itu, Menteri Kebudayaannya juga tenang-tenang saja dan menganggap itu hal biasa. Maka, begitulah kebudayaan (budaya politik) ditegakkan!
Tentunya masih tersisa 3 tahun waktu untuk kembali ke jalan cita-cita Indonesia merdeka bermodalkan pelaksanaan Trisakti dan Revolusi Mental secara baik dan benar. Semoga tekad yang pada awal pemerintahannya Presiden Jokowi begitu indah, akan berakhir dengan indah pula. Mudah-mudahan ke-nekat-an memindahkan Ibu Kota sebagai upaya membangun legacy dirinya, tak menjadi faktor penghambat harapan kita semua. Agar Pak Jokowi bisa ke luar sebagai pemenang dan bisa mengibarkan bendera akal sehat dan jiwa sehat di seluruh linie kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semoga apa yang saya sampaikan ini bisa menjadi bahan perenungan kita bersama di bulan ramadan penuh berkah ini. Tanpa kebencian, tanpa politiking, kecuali menerjemahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan cita-cita Indonesia merdeka, lewat untaian kata seadanya. Tentunya dari pikiran dan hati saya sejujurnya! Selamat berpuasa dengan hati dan pikiran yang tetap merdeka!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com
Advertisement