Habibie, Presiden yang Sopir dan Sopir Gus Dur
Para tokoh mempunyai cara indah dalam bergaul. Sisi lain dari nilai humanis, tak lain tercermin dari anekdot-anekdotnya. Sejak zaman Hadji Agus Salim yang mengepulkan rokok dalam diplomasi, hingga Gus Dur yang mengajak tertawa Raja Arab Saudi.
BJ Habibie dan Gus Dur di mata Fachry Ali, pengamat sosial politik, mempunyai arti sendiri dalam kesehariannya. Berikut catatan pengamat berdarah Aceh itu:
Terakhir menyaksikan B.J. Habibie, ilmuwan dan mantan Presiden ke-3 RI, di rumah mantan Kapolri Awaloedin Djamin. Seperti saya, Habibie datang melayat Awaloedin Djamin di rumah duka di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, beberapa tahun lalu.
Di tengah kerumunan pelayat, saya melihat BJ Habibie, Hartarto dan Emil Salim duduk berdempetan, tanpa bicara satu sama lain. Saya berusaha mengambil gambar peristiwa bersejarah ini.
Kerumunan orang membuat gambar ketiganya tak sempurna terambil. Dan, kini, kecuali Emil Salim, kedua yang pertama telah ‘menyusul’ Awaloedin Djamin.
Sebelumnya, saya sempat bersalaman dengan BJ Habibie —yang baru turun dari mobil— di rumah duka Adi Sasono, beberapa tahun sebelum Awaloedin mangkat.
Ketika Habibie menjadi presiden, saya datang mewawancarainya di Patrajasa, Kuningan, Jakarta Selatan. Saya sedang menulis buku yang ketika terbit saya beri judul ‘Esai Politik tentang Habibie’.
Untuk itulah Habibie menerima saya guna wawancara. Berjam-jam lamanya wawancara saya dengan BJ Habibie, hingga Hariman Siregar, tokoh pergerakan mahasiswa awal 1970-an tak sabar menunggu dan masuk ke ruang ‘obrolan’ itu.
Dalam peristiwa ini, ada hal lucu. Tape recorder yang saya pakai sudah penuh dan tidak bisa saya buka —untuk membalik kasetnya. Hariman Siregar berusaha membantu, tetapi tetap gagal.
Habibie, sang presiden negeri terbesar di Asia Tenggara, turun tangan. Dengan mudah tape itu dibuka dan —sambil meletakkan kembali tape itu— ia berkata: ‘Begini caranya dik.’
Dalam hati saya berseru: ‘Benar-benar teknolog Habibie ini.’
Awal 2000-an di musim dingin, saya, Bahtiar Effendy dan Musfihin Dahlan, mewawancarai Habibie di Munchen, Jerman. Kali ini adalah tentang independensi bank sentral yang sedang kami studi.
Habibie adalah peletak dasar independensi bank sentral pasca Soeharto.
Selama empat hari wawancara itu berlangsung, dari pagi hingga sore. Nikmatnya, setiap mau makan siang, Habibie selalu bertanya: ‘Kita makan siang di resto Thailand atau Jepang?'
Setelah keputusan diambil, kami berangkat. Sementara Ainun Habibie berangkat dengan mobil sendiri, kami bersama. Bahtiar Effendy dan Musfihin Dahlan diminta Habibie duduk di kursi bekakang.
Saya duduk di samping Habibie —yang menyetir sendiri mobil Mercy-nya. Kembali dalam hati saya berseru: ‘Bukanggg maaainnnggg! Disopiri Presiden ke-3 RI.'
(Apakah ini balasan karena pernah menyopiri calon Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid —ketika di Melbourne, Australia sebelumnya?)
Advertisement