Habibie dan Nasib LKBN ANTARA, Jika Keppres Itu Berlaku
Oleh Parni Hadi
Bacharuddin Jusuf Habibie (25 Juni 1936--11 September 2019), Presiden Ketiga Republik Indonesia telah dinobatkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia (BKPI), alasan kuatnya adalah karena Presiden Habibie yang mendorong kelahiran dan menandatangani Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Saya sebagai praktisi pers sejak lama berpendapat Habibie adalah Bapak BKPI. Sebagai wartawan saya saat itu sering menyatakan secara lisan dan tertulis bahwa kebebasan pers adalah ciri utama sebuah demokrasi, mengacu ungkapan UNESCO: “There is no democracy without freedom of the presss” atau “Tiada demokrasi tanpa kemerdekaan pers”.
Waktu itu Menteri Penerangan dijabat Letnan Jenderal TNI M. Junus Josfiah, dan saya ditugasi Pak Habibie sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi (sekarang disebut direktur utama) LKBN ANTARA sejak 3 Juli 1998 dengan sebuah Keputusan Presiden (Keppres). Disebut sebagai kantor berita resmi, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA waktu itu langsung berada di bawah Presiden RI.
Pak Junus tahu saya dekat dengan Presiden, yang saya biasa memanggilnya dengan Mas Rudi dalam percakapan sehari-hari atau tidak dalam suasana resmi protokoler.
Berkat kedekatan itu, Menpen dan saya bekerja erat bersama para aktivis kebebasan pers, termasuk Leo Sabam Batubara (1939--2018), yang waktu aktif di Serikat Penerbitan Pers (kini Serikat Perusahaan perS/SPS) untuk meloloskan Rancangan Undang Undang (RUU) Pers yang sedang dibahas di Komisi I DPR.
Banyak teman praktisi politik dan media massa mengetahui, saya adalah di antara segelintir wartawan yang dekat dengan BJ Habibie.
Dalam pembahasan RUU Pers, saya sampaikan usulan yang kemudian menjadi Pasal 14 UU Nomor 40 Tahun 1999 mengenai klausul Kantor Berita. Bunyinya: “Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara dan negara dapat mendirikan Kantor Berita”.
Mengetahui bahwa saya sudah lama di LKBN ANTARA, Pak Menpen menyetujui usul itu. Jadi, idenya adalah Kantor Berita Negara. Saya ingin ANTARA independen seperti kantor berita Reuters di Inggris dan Agence France-Presse (AFP) di Prancis..
Oleh karena fokus memperjuangkan usul itu, saya kurang memperhatikan usulan teman-teman yang kemudian menjadi Pasal 1 dari Bab 1 tentang Ketentuan Umum. Pasal ayat 1 menyatakan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi sosial dan seterusnya. Ayat 2 tentang perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers dan seterusnya. Dan, Ayat 3 tentang kantor berita berbunyi: “Kantor Berita adalah perusahaan pers dan seterusnya.”
Ternyata, ayat 3 terutama kata “perusahaan pers” itu mengunci kebebasan untuk mendirikan kantor berita negara.
Keppres di manakah kau?
Untuk mewujudkan kantor berita negara sesuai Pasal 14, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, saya mengusulkan kepada Presiden BJ Habibie agar dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkan ANTARA sebagai Lembaga Kantor Berita Negara, tetap LKBN, namun kata “Nasional” menjadi “Negara”. Pak Habibie langsung menyetujui usul saya dan saya diminta membuat konsepnya.
Berkat lama bekerja sebagai wartawan istana presiden zaman Soeharto (1921—2008), dan sering melihat Keppres sebagai bahan berita, maka tanpa kesulitan saya susunlah Keppres itu dengan harapan LKBN ANTARA sebagai kantor berita negara yang independen berada langsung di bawah Presiden sebagai Kepala Negara dan diawasi DPR.
Konsep Keppres segera saya serahkan, tapi saya tunggu beberapa bulan tidak keluar. Sambil menunggu Keppres itu keluar, saya dan beberapa anggota direksi berprakarsa membuat LKBN ANTARA sebagai perusahaan yang sahamnya dimiliki negara, karyawan melalui koperasi karyawan ANTARA (Kokantara), dan publik.
BJ Habibie menjadi Presiden RI pada 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999. Malam menjelang Pak Habibie lengser sebagai Presiden, saya bertemu beliau di kediamannya di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Saya bertanya: “Bagaimana Keppres itu?” Pak Habibie sambil menoleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Muladi SH menjawab: “Sudah saya tandatangani”.
Lho, saya kaget, dan melaporkan bahwa sampai saat itu Keppres tersebut belum saya lihat. Pak Habibie hanya angkat bahu disaksikan Pak Muladi. Sampai saat ini Keppres itu tidak tahu di mana rimbanya.
Selang beberapa tahun kemudian saya terpilih sebagai Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) selama 2005-2010 yang telah berubah status hukumnya menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI bersama LPP Televisi Republik Indonesia (TVRI), berdasar UU Nomor 32 tahun 2002. Sebelumnya RRI adalah instansi pemerintah di bawah Departemen Penerangan, lalu menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Saya adalah orang luar dan non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) pertama yang menduduki posisi puncak RRI.
Status badan hukum ANTARA waktu itu belum jelas. Kepada pimpinan ANTARA, saya sarankan ANTARA menjadi Lembaga Kantor Berita Publik, mengacu kepada LPP RRI, yakni berada di bawah Presiden dan dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk mewujudkan RRI yang independen saya tafsirkan Presiden dalam hal ini lebih sebagai Kepala Negara, bukan hanya sebagai Kepala Pemerintahan.
Masih ada kesempatan keputusan akhir LKBN ANTARA menjadi Perum di bawah Menteri Negara BUMN, tidak lagi langsung di bawah Presiden RI dan yang sehari-hari menangani urusan LKBN di Kementerian Negara BUMN adalah Asisten Deputi Menteri. Pemerintah di bawah kepemimpinan H. Susilo Bambang Yudhoyono mengubah status LKBN ANTARA menjadi Perusahaan Umum (Perum) pada tanggal 18 Juli 2007 melalui Peraturan Pemerintah (PP) 40 Tahun 2007.
Untuk menopang hidup Perum ANTARA mendapat dana Public Service Obligation (PSO) dari pemerintah yang disalurkan lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Konon ANTARA sangat tergantung kepada PSO dan ini berpengaruh kepada daya kreativitas dan keberanian wartawannya untuk menyiarkan berita yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, seperti layaknya pers.
Beberapa bisnis berita online, yang mengacu cara kerja kantor berita, berkembang pesat, mengapa ANTARA tidak? Tatkala publik diseru untuk melawan hoaks alias kabar bohong, LKBN ANTARA bisa berfungsi sebagai clearing house atau tempat rujukan. Syaratnya, berita ANTARA harus dapat dipercaya publik berkat berani menyiarkan berita-berita yang cover both sides, meliput pro dan kontra, dengan misi mono side, tujuan tunggal, yakni terciptanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang adil dan makmur berdasar Pancasila.
Dulu di banyak negara, sebelum media sosial digital berbasis internet marak, kantor berita dianggap sangat vital peranannya, karena itu langsung di bawah pimpinan tertinggi negara. Pimpinan kantor berita adalah orang kepercayaan Sang Pemimpin dan dianggap setingkat menteri.
Beberapa bulan setelah saya menjabat sebagai pimpinan ANTARA, saya ditawari bantuan pemerintah lewat Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebesar Rp1 miliar. Jumlah itu pada tahun 1998 masih cukup besar nilainya. Tapi, karena mengetahui kondisi keuangan negara dan banyak rakyat yang mengalami kemiskinan, saya kembalikan uang itu.
ANTARA bisa bertahan hidup dan berkembang dengan menjual info-info komersial, termasuk analisa pasar modal yang sedang melaju pesat saat itu bekerja sama dengan kantor berita asing yang lebih maju, terutama Reuters, tanpa bantuan uang negara. Direktur Keuangan LKBN ANTARA waktu itu adalah Bung Saiful Hadi (1958--2017), yang kemudian menjadi Dirut ANTARA, wartawan karir ANTARA kedua yang menduduki jabatan puncak setelah saya. Sebelumnya, pimpinan puncak ANTARA dipegang orang luar, umumnya perwira tinggi TNI dan atau pejabat pemerintah eselon 1.
Mengingat peran historis ANTARA sebagai kantor berita perjuangan yang lahir 13 Desember 1937, delapan tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, selayaknya bisa diperjuangkan aturan khusus sebagai tindak lanjut UU Nomor 40 Tahun 1999 yang menetapkan LKBN ANTARA sebagai kantor berita negara yang independen langsung di bawah Presiden sebagai Kepala Negara.
*) Parni Hadi adalah wartawan LKBN ANTARA sejak 1973 hingga menjadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi (1998—2000); Direktur Utama LPP RRI 2005—2010; Anggota Dewan Pers 1988—1998; Sekretaris Jenderal PWI Pusat 1988-1993.
Advertisement