Habib Said Agil Husin Al-Munawar, Udar Metode Memahami Al-Quran
Prof. DR. Said Agil Husin Al-Munawar, Lc,MA, mengatakan, salah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan untuk mempelajari Al-Quran. Dalam konteks pemahaman Al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat Al-Quran.”
Dengan kata lain, metode penafsiran Al-Quran merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh mufassir (penafsir) ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Mantan menteri agama dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri ini, selain pakar ilmu Al-Quran, juga dikenal sebagai qari' dengan suaranya yang merdu. Kebolehannya itu pula, masih tampak ketika digelar Haul Masyayikh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Sabtu 2 November 2019.
Di forum internasional, Habib Said Agil Husin Al-Munawar, tampil sebagai Dewan Hakim asal Indonesia di MTQ Internasional XXVII Yordania pada 17 Juni 2019 lalu.
Lebih jauh Habib Said Agil Husin Al-Munawar memberi penjelasan tentang Kitab Suci yang diturunkan pada Nabi Muhammad s.a.w. Dikatakan, "Al-Quran bila dibaca dengan ilmu dengan suara yang enak maka kita sebagai pendengar dan juga yang membaca akan enak mendengarnya."
Oleh sebab itu, menurut Habib Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran harus didudukkan sesuai mahrafnya, karena sedikit saja terjadi perubahan dalam membacanya maka artinyapun akan berubah.
“Jadi membaca Al Quran tidak sama dengan mencangkul sawah, karena bacaan Al Quran harus sesuai dengan tempatnya,” ujar Guru Besar Tafsir-Hadis Fakultas Ushuludin UIN Jakarta.
Dalam perkembangan wacana metode tafsir hingga saat ini, seperti kata Prof Dr Muhammad Asaad, secara garis besar mengenalkan empat macam (metode). Yakni, ijmâlî (global), tahlîlî (analitik), muqârin (perbandingan) dan maudhû’î (tematik).
“Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial yang selalu dinamik. Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks. Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas Al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak boleh tidak, para mufassir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat Al-Quran yang berbeda-beda,” ujarnya.
Apabila diamati, akan terlihat bahwa metode penafsiran Al-Quran akan menentukan hasil penafsiran. Ketepatan pemilihan metode, akan menghasilkan pemahaman yang tepat, begitu juga sebaliknya.
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah. Tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Quran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya.
Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Quran itu. Sehingga Al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Saat ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas Al-Quran. Setiap kali kita mendengar khutbah dan ceramah, kita juga acap kali telah hafal ayat-ayat yang disampaikan. Kita pun melaksanakan nilai dan ajaran Al-Quran dalam ibadah ritual maupun muamalah.
Berbagai istilah, seperti: sabar, tawakkal, amal, ilmu, salam, bismillâhirrahmânirrahîm, juga diucapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat jauh berbeda dari masa lalu. Kini, juga banyak orang sangat akrab dengan bahasa al-Quran, dan mengerti intisari ajarannya walaupun tak menguasai bahasa Arab.
Tafsir al-Maidah 51
Prof Dr Said Agil Husin al-Munawar MA menegaskan, tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari al-Maidah ayat 51. Karena, ayat itu sudah jelas untuk tidak menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin. Ayat ini sempat menghebohkan Indonesia menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, beberapa tahun lalu.
"Itu laa nahyi yufiidut tahrim, yang berarti tidak boleh atau jangan sekali-kali," ujar ulama multi talenta itu.
Bukan hanya muwalah (urusan kepemimpinan), lanjutnya, termasuk yanshuruunahum (mendukung), wa yastanshoruunahum (meminta dukungan), wa yushoffuuna bihim, wa mu'aasyarotuhum.
Bisa dirujuk Kitab Bahrul Muhit karya Imam Zarkasyi Jilid 3 halaman 507 dan Kitab Shofwatut Tafasir Jilid 1 halaman 479.
Menurutnya, tidak perlu lagi memperdebatkan yang sudah pasti. Karena ini siyasah syar'iyyah, maka diangkatlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang memperbolehkan.
"Beliau bilang boleh. Itu belum titik, jangan berhenti sampai di situ, itu ada yang disembunyikan (oleh orang yang mengutip pendapat Imam Ibnu Taimiyah). Lanjutannya indad dhoruroh, jangan hanya (dikutip) bolehnya saja," katanya.
Pendapat yang sudah dipolitisir inilah, kata ulama yang hafal Al-Quran ini, yang dijual kemana-mana dengan mengangkat isu pemimpin non-Muslim yang jujur lebih baik daripada Muslim yang tidak jujur. Padahal Imam Ibnu Taimiyah memperbolehkan dengan syarat jika kondisinya sudah darurat.
"Pertanyaannya adalah apakah saat sekarang ini posisi kita sudah darurat atau belum? Darurat itu seperti kalau tidak makan atau tidak minum, maka akan mati atau nyaris mati," kata Habib Said Agil Husin Al-Munawar.
Ditegaskannya, untuk tafsir ayat tersebut sudah tidak ada lagi tawar menawar. Terkait menempatkan kondisi darurat, dia menyarankan untuk membaca Kitab Nazhoriyah Dhoruroh asy-Syar'iyyah (yang sudah diterjemahkannya dalam buku Konsep Darurat dalam Hukum Islam) karya Wahbah Zuhaili dan karya Abdul Wahab Ibrohim Abu Sulaiman.
"Untuk urusan tafsir Al-Quran, fas aluu ahladzikri bukan ahlal jahli," tutupnya.