Habib Luthfi bin Yahya, Lestarikan Manuskrip dan Situs Para Ulama
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Pekalongan, merupakan tokoh yang disegani karena penghargaannya terhadap leluhur bangsa. Selain itu, Rais Aam Jam'iyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyian (JATMAN), menjadi pengayom umat karena kepeduliannya dalam menjaga keutuhan bangsa.
Prof Dr Oman Fathurahman, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Pengampu Ngariksa, mempunyai catatan khusus terhadap Habib Luthfi, yang Pengasuh Kanzus Shalawat Pekalongan ini. Berikut di antara perhatian Prof Oman Fathurahman:
Saya sering mendengar Abah Habib Luthfi bin Yahya itu seorang yg berwawasan luas, paham detil silsilah para wali, habaib, dan ulama Nusantara, serta penuh karomah.
Jumat malam, tanggal 14 April 2023, saya serasa mendapat lailatul qadar, meski saya tahu itu malam genap Ramadan, ada kebahagiaan dan kenyamanan.
Atas bantuan kontak dari seorang wali santri Al-Hamidiyah, Pak Erwhin Arafat, saya dan istri tetiba diminta datang ke kediaman Abah di Duren Sawit, Jakarta Timur, antara jam 21.00-22.00. Awalnya saya ajukan anggota rombongan Pesantren Al-Hamidiyah untuk ikut serta, namun untuk kali ini rupanya tidak memungkinkan.
Saya baru membuka perangkat seluler HP jam 20.30, usai tarawih di acara buka bersama keluarga besar Yayasan Islam Al-Hamidiyah Depok di Kemang, kediaman Bapak Ir. Sutjahjo. Sudah agak terlambat untuk berangkat.
Tanpa menunggu rehat untuk mencicipi aneka hidangan menggoda, saya dan istri langsung cabut, izin ke tuan rumah acara buka bersama, Bapak Ir. Sutjahjo, dan pamit ke Direktur Utama Yayasan, Bapak dr. Imam Susanto. Kami tiba di lokasi jam 21.40.
Suasana Sederhana
Setelah menunggu sekira 45 menit, kami dipersilakan masuk. Dari ruang tunggu, saya bisa melihat Abah masih duduk lesehan menikmati hidangan makan malam. Suasana sederhana terasa, tak ada kemewahan meja makan, tampak ada toples berisi rengginang.
Tak lama Abah bergeser ke kursi tamu, saya dan istri duduk berhadap-hadapan dengan Abah, kami sungkem penuh khidmah. Abah tampak bersahaja, kebapakan, tanpa "baju kebesaran".
Saya berkesempatan memperkenalkan diri sebagai Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah warisan Kiai Achmad Sjaichu, atas wasilah Pak Lukman Hakim Saifuddin (LHS). Abah pun langsung mengulas ketokohan KH Saifuddin Zuhri, ayah Pak LHS, disambung memuji kehebatan perjuangan Kiai Achmad Sjaichu, yang menurut beliau belum ada yang bisa menandingi perjuangannya hingga sekarang. Saya semakin bersyukur ditakdirkan berlabuh mengabdi di Al-Hamidiyah.
Lalu saya mengenalkan diri sebagai pelestari manuskrip di Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara), khususnya manuskrip-manuskrip yang terkait tarekat syatariyah, jalur Aceh, Pamijahan, Kuningan, yang bersambung sanad ke para ulama di jalur pantura hingga Kraton Jogjakarta dan Surakarta. Saya juga sampaikan bahwa saat ini saya mendapat amanah dari Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Bapak Imam Gunarto, untuk menindaklanjut arahan Abah terkait pelestarian arsip dan manuskrip dengan pendekatan “Rabithah”.
Setelah tahu asal saya dari Kuningan, Jawa Barat, Abah Habib Luthfi langsung mengubah bahasa komunikasi menjadi bahasa Sunda yang amat halus, fasih, dan menunjukkan sikap tawadlu', hal yang membuat saya sebagai tamunya merasa lebih nyaman.
Bayangkan, beliau menggunakan kata "abdi" sepanjang obrolan, kata ganti yang berati "saya" dalam bahasa Sunda, yang biasanya dipakai oleh seseorang yang lebih muda/bawah, kepada yang lebih sepuh atau lebih dihormati.
Hebatnya, beliau langsung menyebutkan nama-nama buyut saya sampai Kiai Hasan Maolani (Eyang Manado), juga “makam rambut”nya di Lengkong, serta menceritakan perjuangannya hingga dibuang Belanda ke Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara, hingga dimakamkan bersama Kiai Mojo dan Kiai Rifa’i Kalisalak. Tidak sampai di situ, Abah dengan rinci menyebut satu persatu nama-nama yang terkait dengan Eyang Manado, seperti Mbah Dako, juga nama-nama lain yang teramat jarang diketahui umum seperti Eyang Idrus, Mbah Junaid, dan nama-nama yang sebetulnya “terlalu lokal" dan biasanya hanya dikenal terbatas oleh keluarga besar kami keturunan Eyang Manado.
Abah bahkan sampai "menebak" bahwa rumah pengajian ayah saya, kiai Harun, terletak di pinggir jalan Pasapen II. Nama kiai Harun sepertinya juga ada dalam memori Abah, meski samar-samar, katanya. Saya mendapat banyak pencerahan dari Abah Habib Luthfi, mursyid 22 tarekat yang amat dihormati ini.
Kalau tidak ada isyarat bahwa waktu sudah menunjukkan hampir jam 00.00 WIB, Abah Habib Luthfi mungkin akan terus bercerita.
Beliau menutup dengan pesan, "Lanjutkan melestarikan manuskrip dan situs para ulama, agar generasi muda tidak "pareumeun obor", kehilangan jejak sejarahnya".
Kami berpamitan, saya cium tangan Abah, tak lupa saya mohonkan doa terbaik untuk santri-santri Al-Hamidiyah, untuk keluarga, istri, anak-anak, dan untuk kami semua.
"Nanti disambung lagi bada Idul Fitri", dawuh Abah...Semoga beliau sehat selalu.
Kesan yang teramat mendalam, berkah manuskrip dan bulan Ramadan.
Oman Fathurahman
Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Pengampu Ngariksa