Habib Luthfi, 27 Mutiara Rahasia Allah Terletak pada Makhluk-Nya
Habib Luthfi bin Yahya, Rais Aam Jam'iyyah Ahlith Thariqal al-Mu'tabarah an-Nahdliyah 1.(JATMAN) berpesan dalam suatu Pengajian Khusus di Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan.
(1)
“Perselisihan para ulama fiqih ibarat biji mangga, tumbuh bercabang kemudian menumbuhkan ranting, dari ranting kemudian muncul dedaunan dan buah-buahan yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda.”
(2)
“Rahasia Allah terletak pada makhlukNya.”
(3)
“Sesama wali quthub meski memiliki pangkat kewalian yang sama tetapi memiliki sirr atau rahasia yang berbeda. Salah satu hikmahnya adalah agar tidak ada kecemburuan di antara makhluk Allah.”
(4)
“Jangan sekali-kali melupakan guru yang telah mengenalkanmu zhahir-zhahir syariat, terlebih guru mursyidmu yang telah membimbingmu menuju Allah. Salah satu sebab kenapa aku memperoleh derajat terhormat saat ini adalah karena aku sangat menghormati guru-guruku.”
(5)
“Rezeki itu ada dua, Tajrid dan Kasbi. Rizki Tajrid diperoleh tanpa melalui ikhtiar, inilah karunia yang Allah berikan kepada para auliya' (kekasih Allah). Sedang rizki Kasbi didapat melalui proses ikhtiar.”
(6)
“Rezeki itu ibarat tangki mobil, sudah ada takarannya gak bisa dilebihkan atau dikurangi. Kalau dilebihkan bisa-bisa luber dan kalau dikurangi bisa-bisa pengemudi tidak sampai ke tujuan.”
(7)
“Jangan kau akui keilmuan seorang alim yang suka mencerca para auliya’ dan ulama.”
(8)
“Qana’ah dan zuhud adalah pakaian tani yang kita gunakan untuk menggarap lahan di sawah, pelindung dari kotoran-kotoran dan lumpur yang bisa menodai tubuh kita dikala menggarap lahan. Begitulah kaum sufi memandang dunia, mereka tetap bekerja, ikhtiar mencari rizki dengan bersikap qana’ah dan zuhud agar kotoran dunia tidak mengotori hati mereka yang bersih.”
(10)
“Anda keliru jika menyangka para ulama sufi tidak kaya. Al-Imam Abul Hasan asy-Syadzili memiliki empat ekor kuda paling mahal di masanya, kereta kudanya memiliki dua roda yang dihiasi mutiara dan batu mulia, tapi tidak sedikitpun kemegahan kereta kuda itu mengisi relung hatinya. Bahkan ketika ada orang yang takjub akan kemegahan kereta kudanya dan sangat menginginkan apa yang dimiliki sang sufi, asy-Syadzili lantas memberikan kereta kudanya untuk orang tersebut.”
(11)
“Tidak usah memikirkan kekeramatan, yang penting kalian mendalami sekaligus mengamali secara benar dzahir-dzahir syariat.”
(12)
“Aku tidak pernah belajar komunikasi dengan arwah di alam barzakh. Aku bisa karena memiliki mahabbah (kecintaan) kepada meraka. Ilmu seperti itu tidak usah dipelajari, berbahaya, karena kalian belum bisa membedakan mana arwah para wali dan mana arwah yang merupakan jelmaan iblis.”
(13)
“Hikmah di balik tanaman yang diletakkan di atas kuburan adalah untuk meringankan adzab si ahli kubur. Karena selama tanaman itu masih hijau, dia (tanaman) bertasbih memujiNya. Hal inilah yang menjadi sebab turunnya rahmat diringankan siksaan si ahli kubur.”
(14)
“Kasih sayang seorang wali itu sama seperti kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, bahkan mereka rela menanggung adzab yang turun di umat mereka. Begitulah sifat para auliya’.”
(15)
“Rahmat turun karena sebab ikhtiar. Contoh: sakinah, mawaddah dan rahmah akan muncul jika seseorang sudah ikhtiar untuk menikah.”
(16)
“Qudrat dan iradat Allah Swt. ditunjukan pada tiap makhluk yang telah Dia ciptakan.”
(17)
“Make up orang mukmin ialah bekas sujud yang memancar dari wajahnya.”
(19)
“Maksiatnya Nabi Adam As. merupakan tarbiyah Allah Swt. kepada Nabi Adam As. agar kelak jangan mengulangi perbuatan tersebut.”
(20)
“Hikmah diperoleh setelah penalaran yang mendalam. Hikmah juga mengajarkan seseorang untuk bersikap sabar.”
(21)
“Demi menghormati Abdullah bin Umi Maktum, Rasulullah Saw. selalu berdiri tiap kali ada orang buta yang lewat di hadapan beliau.”
(22)
“Berpalingnya Rasulullah Saw. dari Abdullah bin Umi Maktum membuat beliau ditegur oleh Allah Swt. dengan cara yang halus yaitu dengan dhamir ghaib: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling”, bukan dengan dhamir mukhathab: “Kamu (Muhammad) bermuka masam dan berpaling”, (QS. ‘Abasa ayat 1). Hal ini adalah bentuk pendidikan sekaligus perintah Allah kepada Rasulullah Saw. untuk menyampaikan dakwah, terlepas dari diterima atau tidaknya dakwah Rasulullah Saw., sebagai kewajiban beliau selaku utusan Allah sekaligus menekankan bahwa hak Allah Swt. adalah memberikan hidayah pada siapa saja yang Dia kehendaki.”
(23)
“Salah satu penyakit hati yang berbahaya adalah hasud. Hasud jika dikombinasikan dengan sifat ghaflah atau lalai akan memunculkan sikap sombong.”
(24)
“Hasad dan marah adalah dua hal yang saling berhubungan satu sama lain.”
(25)
“Segala sesuatu memiliki batasan, termasuk kesabaran. Jika sabar tidak memiliki batas, mungkin Kanjeng Nabi Saw. akan diam saja dan tidak akan memerangi kaum kafir di Perang Badar.”
(26)
“Bersabar tidak boleh menuruti hawa nafsu tapi harus dengan ilmu.”
(27)
Salah seorang jamaah Kanzush Shalawat Pekalongan pernah bertanya kepada Habib Luthfi bin Yahya. “Bagaimanakah cara kita mengetahui keinginan yang semata-mata karena Allah dan keinginan yang bersumber dari nafsu?”
Habib Luthfi bin Yahya menjawab: “Bagi saja keinginan itu menjadi dua, satu untuk akal dan kedua untuk ilmu. Akal sebagai hakim dan ilmu alat untuk menganalisa dengan hati sebagai rajanya yang akan mendorong keinginan kita bertindak semata-mata karena Allah.”
*) Disarikan dari pengajian rutin al-‘Arif Billah Maulana al-Habib M. Luthfi bin Yahya Pekalongan selama Ramadhan 1434 H.