Habib Chirzin, Mengarusutamakan Keamanan Manusia
Pandemi Covid-19 yang mendorong banyak negara mengeluarkan pembatasan pergerakan manusia telah berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Secara tidak langsung, pandemi Covid-19 telah menjelma sebagai bentuk ketidakdamaian (peacelessness) sekaligus ancaman bagi keamanan manusia yang baru.
Pandemi Covid-19 sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan manusia. Masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia, mengalami ketidakamanan selama berjangkitnya pandemi Covid-19.
Muhammad Habib Chirzin menyampaikan pidato di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu 21 September 2022, saat menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (HC) atas dedikasinya mengembangkan dan mengarusutamakan nilai-nilai perdamaian melalui kegiatan sosial baik di lapangan, seminar, workshop, forum diskusi baik di dalam maupun luar negeri sejak tahun 1982 hingga saat ini.
Muhammad Habib Chirzin, di antara tokoh yang mempunyai perhatian serius terhadap problematika masyarakat. Termasuk di antaranya, problematika kemanusiaan saat pandemi berlangsung mencekam di abad ini.
Analisis Wacana
Dalam pidatonya tersebut ia melakukan analisis wacana dalam bingkai situasi di masa Covid-19 hingga pasca Covid seperti saat ini. Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor periode 1968 ini menyampaikan naskah berjudul “Wacana Baru Perdamaian dan Perlunya Mengarusutamakan Keamanan Manusia” dalam perspektif Maqashid al-Syariah.
Lebih lanjut, Habib menyinggung konsep keamanan manusia berkembang sebagai bentuk peradamaian baru dengan implikasi penting bagi kesehatan dan pembangunan manusia. Ia berharap upaya keamanan manusia dapat memperluas pemikiran keamanan dari keamanan nasional dan pertahanan militer batas-batas negara menjadi pendekatan yang berpusat pada manusia guna mengatasi berbagai ancaman yang semakin mengglobal.
Berjangkitnya penyakit menular di seluruh dunia terjadi pada masa-masa yang lalu, tetapi interaksi global memperburuk masalah dan mempersulit upaya mengatasi penyakit. Penyebaran HIV/AIDS beberapa waktu yang lalu, misalnya, menjadi ancaman terhadap keamanan manusia. Pada tahun 2002, 42 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, lebih dari 95% dari mereka di negara-negara berkembang dan 75% di sub-Sahara Afrika. Diperkirakan 5 juta orang terinfeksi pada tahun 2002, setengah dari mereka adalah orang muda, dengan wanita muda dan anak perempuan sangat terpengaruh.
Anak-anak yatim piatu akibat AIDS berjumlah 11 juta di wilayah sub-Sahara (UNAIDS/WHO, 2022). Setiap tahun ada lebih dari 300 juta kasus malaria dan 60 juta orang terinfeksi tuberculosis yang menyebabkan dua juta kematian setiap tahun. Pada tahun 2020 hampir satu miliar orang terinfeksi dan 35 juta meninggal karena tuberculosis. Prevalensi malaria tinggi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% atau lebih per tahun. Ebola adalah penyakit ganas lain yang menyebabkan kematian pada 50-90% kasus (Organisasi Kesehatan Dunia, 2000).
Habib juga menyoroti soal keamanan manusia dan pemberdayaan perempuan. Permasalahan penting dalam konsep keamanan manusia ini adalah tentang keadilan gender dan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, baik di masa konflik, pasca konflik, dan masa damai. Salah satu dari manifestasi globalisasi adalah munculnya kelompok feminis yang mengkaji penyebab struktural ketidakamanan perempuan dalam budaya yang berbeda.
“Berakhirnya Perang Dingin memberi negara-negara ruang untuk merevisi kebutuhan keamanan dan ancaman yang mereka hadapi berlandaskan kepada Deklarasi universal hak asasi manusia dan Konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) pada tahun 1979,” tutur dalam pidatonya sebagaimana dilansir laman marknews.id.
Kesetaraan Lelaki dan Perempuan
“CEDAW menyerukan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik dan politik, di hadapan hukum, pendidikan, pekerjaan, penyediaan perawatan kesehatan, pernikahan dan keluarga. Hal ini secara eksplisit mendesak negara-negara untuk menekan eksploitasi perempuan dan perdagangan perempuan, serta memperbaiki situasi perempuan pedesaan sebagai kelompok yang sangat kurang beruntung.
"Agenda baru keamanan internasional memasukkan pertimbangan non-militer, dengan munculnya gender dalam laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) 1994,” ujarnya.
Perhelatan akbar ini mengundang sejumlah Rektor Perguruan Tinggi dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Turut hadir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr H Haedar Nashir, MSi, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Pimpinan Pondok Pesantren Pabelan Magelang, Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, dan sejumlah tamu undangan lainnya.
Advertisement