Habib Ali Masyhur bin Hafidz, Mufti Tarim Meninggal Dunia
Habib Ali Masyhur bin Hafidz, kakak kandung Habib Umar bin Hafidz wafat, Selasa 26 Mei 2020, bertepatan pada 3 Syawal 1441 H, menghadap ke Rahmatullah. Seluruh umat Islam, khususnya santri-santrinya di Indonesia, menyatakan duka cita mendalam.
Sejak pagi, Selasa 25 Mei, banyak bermunculan pernyataan duka. Ulama-ulama Tarim, Yaman, mempunyai hubungan emosional sangat kuat dengan Indonesia. Apalagi, Habib Umar bin Hafidz menjadi tetua para habib dan dianggap paling berkarisma di antara ulama dari kaum habaib itu.
Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Abdullah bin Abu Bakar bin Idrus bin Umar bin Idrus bin Umar bin Abu Bakar bin Idrus bin al-Husein bin Fakhrul Wujud Sayyiduna asy-Syeikh Abu Bakar bin Salim Shohib Inat, adalah Mufti Tarim, Hadhramaut, Yaman.
Habib Ali al-Masyhur (kakak dari Habib Umar bin Hafidz) lahir di Tarim pada 13 Ramadhan 1358 H. (5 November 1939 M.), dibesarkan dan dididik di bawah asuhan ayahnya, Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, dan kakeknya, Habib Salim bin Hafidz, dalam lingkungan yang sarat ilmu agama, keimanan dan segala amalan baik.
Ayahnya menamainya "al-Masyhur" (diambil dari nama guru ayahnya sendiri yang juga kakeknya dari pihak ibu, seorang ulama besar, al-Imam al-Habib Ali bin Abdur Rahman al-Masyhur), dan sejak kecil ia kemudian menjadi dikenal sebagai Habib Masyhur.
Habib Masyhur mulai belajar ilmu di usia dini langsung kepada ayah dan kakeknya, dan beliau juga belajar dari Habib Alwi bin Abdullah bin Shihab dan Habib Umar bin Alwi al-Kaff.
Pada usia 7 tahun beliau sudah tamat dari sekolah tahfidzul Qur'an Abu Murayyam dan mulai belajar di Ribath Tarim pada tahun 1365 H. (1946 M.). Guru-guru beliau adalah Syeikh Mahfudz bin Utsman, Syeikh Salim bin Sa'id Bukayyir, Syeikh Abdullah Ba Zaghayfan, Syeikh Tawfiq bin Faraj Aman, dan Syeikh Shalih bin Awad Haddad.
Pada tahun 1375 H., ayahnya mengarahkan dia untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk menemani kakeknya, Habib Salim, yang sedang berada di tahun-tahun terakhir hidupnya. Habib Masyhur menghabiskan dua tahun merawat serta mengambil pengetahuan dan bimbingan rohani dari kakeknya.
Pada tahun 1377 H. (1957 M.) Habib Masyhur dikirim oleh ayahnya ke kota ash-Shihr untuk belajar dari Habib Abdullah bin Abdur Rahman Ibn Syeikh Abu Bakar bin Salim. Beliau belajar sekitar satu tahun dan kemudian kembali ke Tarim dan bergabung dengan al-Ma`had al-Fiqhi, di mana beliau belajar dan mengajar sampai tahun 1382 H. (1962 M.).
Kemudian beliau pergi ke lembah Daw'an, Selatan Hadhramaut untuk mengajar dan berdakwah di jalan Allah. Banyak orang mendapat manfaat dari ilmunya, dan di situ beliau membuka sejumlah sekolah dan banyak majlas ilmu. Beliau berada di Daw'an selama sekitar tiga belas tahun.
Selama periode ini beliau sering mengunjungi Tarim di waktu luang, dan melakukan perjalanan ke Hijaz pada tahun 1386 H. (1966 M.) untuk melakukan ibadah haji dan mengunjungi Rasulullah ﷺ. Dan selagi berada di dua kota suci itu, beliau tak lupa mengambil ilmu dari ulamanya, termasuk dari Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani, Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani, Sayyid Muhammad Amin Kuthbi dan Syeikh al-Hasan Massyat.
Pada tahun 1387 H. (1967 M.), rezim sosialis komunis berkuasa di Yaman Selatan dan berusaha untuk membasmi ajaran Islam dari masyarakat Yaman. Para ulama dibunuh dan lembaga/sekolah diniyah keagamaan secara paksa ditutup.
Pada tahun 1392 H. (1973 M.), rezim komunis menculik dan membunuh Habib Muhammad bin Salim (ayah beliau), yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan rezim.
Pada tahun 1395 H. (1975 M.) Habib Masyhur pulang dari Daw'an dan kembali menetap di Tarim, dan merupakan salah satu dari beberapa ulama yang dengan gigih tetap berjuang di kota Tarim, meskipun fakta bahwa penindasan rezim ini paling sadis dan parah. beliau dengan beraninya menggantikan kedudukan ayahnya, baik untuk urusan pribadi maupun urusan publik, seperti berceramah dan mengisi majlis ilmu.
Pihak berwenang saat itu telah menghentikan banyak kegiatan keagamaan yang telah berjalan selama ratusan tahun di Tarim, namun Habib Masyhur secara bertahap membukanya kembali. Sejak tahun beliau tiba kembali di Tarim, beliau telah menjadi imam Masjid Jami'. Beliau memainkan peran besar dalam melestarikan naskah penting yang telah diambil oleh kaum sosialis komunis dari sekolah-sekolah agama dan rumah ulama'.
Beliau mengatur kembali naskah-naskah itu dan menempatkan mereka di perpustakaan Masjid Jami', setelah masjid direnovasi.
Beliau juga memimpin tim penyusunan pembuatan pohon silsilah keluarga keturunan Baginda Nabi ﷺ di Hadhramaut. Pohon Nasab ini pertama kali disusun oleh al-Habib Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur.
Setelah rezim sosialis komunis jatuh pada tahun 1410 H. (1990 M.) dan Yaman Utara serta Yaman Selatan bersatu kembali, beliau ikut berperan mengambil bagian dalam pembukaan kembali Ribath Tarim dan juga mengajar di sana.
Kemudian beliau bekerja sama dengan saudaranya, Habib Umar bin Hafidz, dalam membangun Dar al-Musthafa, yang dibuka pada tahun 1414 H. (1994 M.). Beliau menjadi direktur dan guru mahasiswa tingkat lanjut di sana. Beliau juga mengajar di Universitas Ahqaf Syari'ah Tinggi, selama empat tahun sampai angkatan pertama dari siswa lulus.
Sejak tahun 1421 H. (2000 M.), beliau telah menjadi ketua Dewan Fatwa Tarim (Mufti Tarim). Beliau juga memegang/mengajar sejumlah mata pelajaran secara tetap di Masjid Jami' Tarim dan Dar al-Faqih al-Muqaddam, dan banyak siswa yang datang untuk belajar dari beliau di rumahnya.
Beliau memimpin beberapa majlis zikir mingguan dan dia memimpin kunjungan ziarah secara berkelompok ke pemakaman Zanbal pada hari Jum'at. Beliau memiliki perhatian khusus untuk pendidikan perempuan dan memegang pelajaran mingguan khusus untuk mereka.
Beliau juga mengirimkan kelompok guru dan da'i ke desa-desa dan kota-kota terpencil untuk mengajar ummat dan mengingatkan mereka tentang tugas mereka dalam Islam.
Meskipun pengetahuannya sangat luas, Habib Ali Masyhur sangat rendah hati dan sangat dicintai oleh murid-muridnya dan orang-orang Tarim. Bahkan dalam kuliah umum, ia lebih suka berbicara dalam dialek Tarim. Ini adalah cara pendahulunya, yang tidak tertarik pada retorika dan bahasa yang tinggi, melainkan bahasa yang mudah dipahami oleh semua masyarakat awam. Meskipun usianya sudah di atas tujuh puluhan, rutinitas dan semangatnya tetap seperti seorang pemuda.
Selain menghormati komitmennya di bidang mengajar, beliau selalu terlihat menghadiri pesta pernikahan dan memimpin sholat jenazah dan doa pemakaman. Dalam kejujuran ia adalah seperti batu cadas yang kokoh, dan melalui beliau agama masyarakat Tarim dan Hadhramaut tetap teguh.
Advertisement