Habib Abubakar: Sejak Kapan Bahtsul Masail NU Berdalil Mu’tazilah
Habib Abubakar bin Hasan Assegaf, Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan, menanggapi Keputusan Bahtsul Masail dalam Munas NU di Banjar, Jawa Barat. Khususnya soal penyebutan kafir. Yang jadi masalah, adalah pijakan dalil atau referensinya.
Untuk itu, ngopibareng.id, menurunkan secara lengkap pandangan ulama yang kerap tampil dengan lugas dan santun ini.
“Pertama, Soal larangan menyebut non-Muslim dengan kata Kafir, telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Tidak tepat. Apalagi, hujjah/dalil yang digunakan sangat lemah, bahkan tidak layak dijadikan referensi,” tutur Habib Abubakar, dikutip dari grup WhatsApp, Sabtu 2 Maret 2019.
Kedua, Ibaroh yang diambil dari kitab “Albahrurroiq” 48/5. Hanyalah menukil dari seorang ulama’ Hanafiah yang beraqidah “Mu’tazilah” yaitu Najmuddin.
Lebih jelasnya dikutip dari “Qunyatul Maniyyah a’la madzhabi Abi hanifah” karya Mukhtar bin Muhammad azzahidiy, Abu arroja’ al-Azmiyniy al-Hanafiy al-Mu’taziliy. Yang djukuki Najmudiin.
Ketiga, Najmuddin ini, memiliki karya di antaranya al-Qunyah. Yang dianggap oleh ulama’ hanafiah sendiri sebagai kitab yang tidak “Mu’tabar”/tidak bisa dijadikan rujukan.
Bahkan oleh para ulama’ hanafiah, beliau dikenal “Bidu’firriwayah” lemah periwayatannya, dan seorang “Mu’tazilah” (salah satu faham yg dianggap sesat). Wafat pada th 658. Sebagaimana disebutkan dalam “al-Jawahirul Mudhi’ah fi thobaqoti al-hanafiah (166/2).
Maka, sejak kapan Bahtsul Masail NU mengambil hujjah dari seorang ulama’ yang berfaham Mu’tazilah? Apa lagi jelas-jelas dibantah sendiri oleh ulama’ Hanafiah ? Ini baru dari sisi istinbath (pengambilan hukum) belum dari sisi yang lain.
“Dan jangan lupa, dalam menyimpulkan hukum tidak boleh lepas dengan situasi yang ada. Kita sama2 tau, kaum liberal gencar menyuarakan pluralisme, dalam artian semua Agama itu sama. Jangan sampai fatwa ini jadi gerbang besar untuk menghidupkan kembali pulralisme,” kata Habib Abubakar, mengingatkan.
“Belum lagi upaya kaum liberal, dalam menggolkan bolehnya kepemimpinan non-Muslim di wilayah Muslimin. Ini juga harus ditimbang matang-matang. Jangan sampai karena satu ibaroh dari madzhab Hanafi, yang itupun oleh Hanafiah dianggap dha’if/lemah, lalu kita buka pintu untuk mafsadah yang lebih besar dan substansial.
Demikian Habib Abubakar Assegaf dari Pasuruan berpesan. (adi)
"Maka, sejak kapan Bahtsul Masail NU mengambil hujjah dari seorang ulama’ yang berfaham Mu’tazilah? Apa lagi jelas-jelas dibantah sendiri oleh ulama’ Hanafiah ? Ini baru dari sisi istinbath (pengambilan hukum) belum dari sisi yang lain."
Advertisement