Guyonan Lawas NU (2): Ngopi Lebih Kental Lagi
Pada bagian pertama tulisan, saya memaparkan, di antara sasaran iklan atau promosi (baca: dakwah) adalah “orang asing”. Yang belum menjadi konsumen loyal. Karena itu, seorang pendakwah idealnya bukan jago kandang. Pengembara. Mainnya jauh. Sudut pandangnya luas. Kopine kentel.
Dalam sejarah kewalian di Jawa, anggota Walisongo masuk klasifikasi ini. Juga, beberapa dai, kiai, dan ulama setelah periode Walisongo.
Pada era 90-an, ada Gus Miek (KH Hamim Tohari Djazuli) yang sering ngancani orang-orang dunia malam. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang ngopeni umat lintas agama, lintas keyakinan.
Di era sekarang, ada Gus Miftah (KH Miftah Maulana Habiburrahman) yang akrab dengan kalangan selebritis dan juga para perempuan penghuni kompleks. Mungkin masih ada lagi pendakwah, kiai atau ulama yang punya lakon seperti itu. Hanya, tidak terpantau oleh pubrik secara luas.
Kembali ke strategi promosi atau iklan yang saya singgung di atas, adanya kiai-kiai atau pendakwah yang berani main di arena bebas seperti itu sangat diperlukan. Dan itu, butuh nyali khusus. Butuh pengetahuan luas. Butuh penguasaan strategi yang bagus. Dan yang terpenting, punya keyakinan yang lurus dan kuat.
Intinya, harus ada pemahaman bahwa yang perlu dirawat itu bukan hanya konsumen loyal. Namun, juga orang yang belum sama sekali mengenal produk. Mereka harus digauli. Didekati. Rasanya tidak mungkin mengajak dan mempengaruhi, tanpa adanya keberanian untuk bergumul di tengah-tengah mereka.
Berdakwah, tidak hanya berada di atas podium dan pegang mikrofon. Namun, lebih dari itu, dakwah dibutuhkan tindakan-tindakan nyata. Bilhal! Dakwah dengan perbuatan. Dengan perilaku, tutur kata, sikap yang bisa menarik simpatik.
Pendakwah, kiai atau ulama yang berani “bermanin” di arena bebas, tidak mustahil akan memiliki pengikut (jamaah) yang “aneh-aneh”. Gus Miek, punya “jamaah dunia malam”. Gus Dur, punya jamaah lintas agama. Sedang Gus Miftah punya jamaah para perempuan penghuni kompleks Sarkem di Jogjakarta. Juga jamaah artis seperti Deddy Corbuzier.
Ini memang “jamaah aneh”. Jadi, jamaah Sarkem Gus Miftah, jamaah lintas agama Gus Dur, serta jamaah dunia malam Gus Miek, jangan disamakan dengan jamaah tahlil asuhan kiai A atau B.
Jamaah tahlil atau sejenisnya, adalah “konsumen loyal”. Targetnya adalah untuk merawat loyalitas dan meningkatkan kualitas loyalitasnya (keimanannya). Sedang jamaah “aneh-aneh” itu targetnya untuk mengenalkan, untuk mengambil hati, menjaga agar tidak terlalu jauh terperosok dan mengajak kembali.
Saya punya prasangka baik. Ketika Gus Miek, Gus Dur dan Gus Miftah memiliki pengikut “aneh-aneh” maka tujuannya adalah untuk secara pelan-pelan mengajak mereka ke jalan yang benar (dienul Islam). Bukan menemani mereka untuk bersama-sama melestarikan perbuatan “aneh-anehnya” itu.
“Jamaah dunia malam” yang dikancani Gus Miek dan “jamaah Sarkem” yang dekat dengan Gus Miftah, mungkin mayotias muslim. Artinya, secara keimanan mereka sudah memepercayai Allah dan Nabi Muhammad. Hanya belum menjalankan syariat dan masih banyak melakukan kemaksiatan.
Maka, mereka pelan-pelan dibimbing untuk menjalankan syariat dan meninggalkan kemaksiatan. Tentu, semua masih serba minimalis. Jangan disamakan dengan jamaah sholeh yang sudah rajin ke masjid.
Sedang jamaah lintas agama Gus Dur, secara keimanan tentu belum. Maka, target yang hendak dicapai minimal mengenalkan tauhid ke mereka. Bila toh belum berhasil, paling tidak mereka tidak memiliki pandangan negatif tentang Islam, tentang Allah dan Nabi Muhammad. Menghindarkan kesalahpahaman yang bisa mengganggu interaksi sosial.
Intinya, masing-masing punya target yang berbeda-beda. Yang penting, asal semua itu dilakukan karena Allah, tentu nilainya akan sama.
Lalu, apa hubungannya dengan guyonan NU cabang Nasrani? Kembali ke awal tulisan, kalau mengacu kepada Qanun Asasi bahwa anggota NU adalah para kiai/ulama dan pengikutnya, maka pengikut (jamaah) Gus Miek, Gus Dur, dan Gus Miftah yang ”aneh-aneh” itu, hakikatnya bisa dikatakan sebagai warga nahdliyin minimalis. Warga NU yang masih berproses menuju standar ideal.
Jadi, gunyonan NU cabang Nasrani, masuk katagori guyon maton. Guyonan, namun secara prinsipiil ada benarnya juga. Mereka layak “dinobatkan” sebagai anggota NU karena menjadi jamaah atau pengikut dari kiai, ulama, atau pendakwah yang berhaluan NU.
Pondasi kekuatan NU itu, ada di jam’iyah dan jamaah. Bila bicara jam’iyah (organisasi), maka tolak ukurnya adalah AD/ART. Sedang jamaah, tolak ukurnya adalah kesamaan pandangan, kesamaan perilaku, dan kesamaan keyakinan.
Jam’iyah, karena berdasar aturan baku organisasi, maka cakupannya sempit. Ada pakem-pakem tertentu yang harus ditaati. Namun, jamaah memiliki spektrum yang sangat luas. Nah, guyonan NU Cabang Narsani ini, tentu hanya layak masuk dalam ranah jamaah. Bukan jam’iyah.
Itu pun tetap harus dianggap sekedar guyonan. Maksimal guyon maton. Tidak lebih. Karena sebagai jam’iyah dan jamaah diniyah Islamiyah, ya tidak logis bila anggotanya bukan muslim.
Diyakaini banyak orang, termasuk para peneliti, NU adalah ormas dengan jumlah pengikut terbesar. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Percayalah, predikat itu, diperoleh bukan karena dari standar jam’iyah. Namun, dari tolak ukur jamaah.
Mereka yang mengaku dan diidentifikasi sebagai NU itu, bisa dipastikan mayoritas tidak terdata secara administrasi. Tidak punya kartu anggota NU. Mereka dianggap NU hanya karena mereka itu pengikut (jamaah) para kiai/ulama NU. Juga karena cara berpikir, cara bersikap dan beribadahnya ala para kiai NU.
Sebagian para kiai pun, juga masuk katagori ini. Artinya, sebagian dari mereka itu juga tidak memiliki kartu anggota. Mereka dianggap NU dan akan tersinggung dikatakan tidak NU, karena memang amaliyah, cara berpikir dan bertindak mereka ala NU.
Saya sendiri berpandangan, secara hakiki, tujuan utama didirikannya NU, bukan untuk mewujudkan berdirinya organisasi yang punya asset banyak dan jamaah yang terdata secara administratif. Namun, lebih dimaksudkan untuk menjaga dan merawat eksistensi ajaran ahlussunah waljamaah.
Menengok sejarah, sebelum para ulama pesantren memutuskan mendirikan NU, dunia –termasuk Indonesia—sedang terusik dengan gerakan wahabi. Mereka dengan pandangan yang sempit dan puritan, sangat berambisi meleyapkan amalah-amalah umat Islam yang dinilainya bid’ah, khurafat dan syirik.
Karena merasa terancam dan sebagai pihak tertuduh, para kiai dan ulama pesantren bangkit. Makanya namanya Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama). Mereka tergerak untuk mempertahankan diri. Jika sampai detik ini amalah, tradisi dan aqidah yang dipegah teguh para ulama dan kiai pesantren itu masih lestari, bahkan makin berkembang, berarti tujuan berdirinya NU berhasil.
Dengan mengatakan itu, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa garapan NU cukup berhenti di situ. Politik penting, pendidikan, mengembangkan ekonomi umat penting. Karena semua itu, akan menjadi satu kesatuan dalam menjaga kelestarian ajaran Ahlussunah wal jamaah ala NU.
Terakhir, saya berharap semua memahami, NU itu sangat besar. Isinya macam-macam. Ada orang yang sangat sholeh, sholeh, agak sholeh dan kurang sholeh. Juga ada yang fasik, agak fasik dan sangat fasik. Semua itu, harus dirawat. Dijaga untuk dituntun menuju ke sirotol mustaqim.
Bagi yang kebetulan mendapat peran sebagai crew, tolong kendaraan ini dibawa dengan hati-hati. Memang, tidak harus selalu sepanen. Kadang perlu sedikit-sedikit rileks, bercanda (bergurau). Tapi, jangan berlebihan. Pahami, di antara penumpang ada yang berkarakter serius.
Yang bawa’ane kudu uring-uringan terus, ya coba melatih diri untuk sedikit rileks. Kadang main ke luar rumah. Cari kopi yang kentel. Hirup dalam-dalam dan disruput pelan-pelan.
Prinsip tawazun, tawasuth, dan tasamuh perlu selalu dijadikan standar untuk berkata, bersikap dan bertindak.
Akhmad Zaini
Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban, Jawa Timur.