Gusdurian dan Ciganjur: Sebuah Tafsir Personal
"Nek pengen melok gerakan politik praktisnya Gus Dur, nang Yenny wae, Mas. Nek melu aku, gak oleh ngomong politik praktis," kata Mbak Alissa, imam kedua Ciganjur setelah bu Sinta Nuriyah, suatu ketika. Yenny Wahid adalah imam ketiga, Anita Wahid dan Inayah Wahid adalah imam keempat dan kelima, berurutan.
"Lho katanya Gusdurian netral, kok ndukung salah satu capres?" tanya temanku. Begini, sepanjang yang aku pahami, Gusdurian adalah para pengagum sekaligus penerus perjuangan Gus Dur. Kata itu sifatnya generik. Siapapun boleh mengklaim dirinya sebagai Gusdurian, kecuali undang-undang menentukan lain.
Secara umum, menurutku, Gusdurian dibagi dua; Ciganjur dan non-Ciganjur. Gusdurian non-Ciganjur adalah mereka yang tidak mengikuti arahan langsung dari Ciganjur namun tetap merasa mengamalkan ajaran Gus Dur. Contoh yang paling ekstrim adalah Cak Imin.
Pria ini adalah figur paling unik. Dibesarkan dan dididik berpolitik (protege) langsung oleh Gus Dur, namun ia juga merupakan satu-satunya orang yang sanggup membuat Gus Dur mengeluarkan surat pernyataan keras menyangkut dirinya.
Isinya, selama PKB masih dipimpin olehnya maka partai ini dilarang menggunakan apapun yang berkaitan dengan Gus Dur demi mendulang suara. Aku masih simpan foto suratnya. Namun harap jangan dipelintir aku tidak suka dengan PKB. Itu dua hal yang berbeda.
Kembali ke soal Gusdurian faksi Ciganjur. Di dalam keluarga ini, ada 5 imam sebagaimana yang aku jelaskan di atas. Kelimanya berbagi peran untuk merawat dan meneruskan perjuangan Gus Dur. Setiap imam punya pengikut masing-masing. Pengikutnya, tentu bisa disebut Gusdurian juga.
Yang paling menonjol gerakannya ada 3 orang; bu Sinta Nuriyah dengan Puan Amal Hayati, Alissa Wahid dengan Jaringan GUSDURian (JGD) dan tentu saja Yenny Wahid dengan Barisan Kader (Barikade) Gus Dur.
Yang aku pahami, Mbak Yenny kedapuk meneruskan ide dan gerakan politik praktis Gus Dur. Mendesain parpol, berelasi antarelit parpol, maupun mendistribusi kadernya ke parpol, itu urusan dia.
Di sisi lain, ada Alissa Wahid. Dialah yang diberi mandat merawat perjuangan Gus Dur dalam aspek non-politik praktis. Perempuan ini "menjahit" ratusan anak muda (dan senior) untuk tumbuh bersama.
Tidak untuk membangun sebuah partai, namun menciptakan barisan masyarakat sipil, dalam arti gerakan kritis non-pemerintah dan non-partisan. Alissa meneruskan perjuangan panjang Gus Dur jauh sebelum pria ini mendirikan PKB.
Apakah Jaringan GUSDURian yang dikomandani Alissa Wahid bukan sekedar kedok saja, untuk menyuplai gerakan politik yang dikomandani Yenny? Rasanya kok tidak. Sekitar enam tahunan berproses bersama Jaringan GUSDURian, aku tidak merasakan skenario itu.
Justru yang terberat di Jaringan GUSDURian ini, menurutku, adalah keharusan non-aktif dari JGD kalau aktifisnya ingin berproses di parpol, misalnya nyaleg. "Jangan bawa-bawa GUSDURian di arena kontestasi politik praktis!" Itu kuncinya.
Oleh sebab itu, cukup mudah mengidentifikasi mana pasukannya Alissa dan Yenny. Pasukan Alissa terlihat dari gesture dan kosakatanya; LSM banget! -- pengorganisasian, pendidikan kritis, advokasi dan hal-hal seputar itu. Bahkan tak jarang orang-orangnya sangat kritis pada partai politik.
Jadi, kalau ada orang yang mendeklarasikan diri sebagai Gusdurian, maka tanyalah "Ciganjur atau non-Ciganjur?" Jika dijawab "Ciganjur" maka susuli dengan pertanyaan lanjutan "Siapa Imamnya?" Dari sini akan kelihatan rantai komando dan karakternya.
Terhadap semua pengikut para imam Ciganjur, aku selalu melihatnya sebagai keluarga besar di mana persaudaraan harus terus digelorakan. Misalnya, beberapa bulan lalu aku dengar ada kelompok MAFINDO.
Di dalamnya ada Mbak Anita Wahid. Maka siapapun yang berkecimpung di sana, aku anggap Gusdurian dan kami beririsan di pusaran Ciganjur meski beda imam. "Oooo genknya Mbak Anit ya.." atau "Oooo pasukannya Mbak Yenny ya" atau "Oalah..kamu orangnya ibuk to" Kata "ibuk" merujuk kepada bu Sinta Nuriyah.
Yang tak kalah penting, dalam perspektifku, berelasi dengan gerakan Ciganjur adalah kesediaan untuk melayani (khidmat) dan berkorban. Bahkan tidak jarang harus menerima kenyatan untuk "disalib" karena memperjuangkan sebuah prinsip, sebagaimana Gus Dur atau Ahok.
Sekali lagi, Gusduriannya mbak Yenny itu berpolitik praktis melalui Barikade Gus Dur. Sedangkan Jaringan GUSDURian-nya Mbak Alissa tidak berpolitik praktis. Arah gerakan 2 imam dan 3 imam Ciganjur lain adalah SAMA; merawat dan meneruskan cita-cita Gus Dur. Caranya saja yang berbeda.
Jadi clear ya.
I love you!
*) Oleh Aan Anshori, GUSDURian juga Koordinator JIAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi) asal Jombang.