Gus Yahya Menduniakan Spirit Islam
Masih banyak yang ragu bahwa NU akan mampu mengumpulkan para tokoh agama dari seluruh dunia. Mungkinkah PBNU mampu menghadirkan tokoh-tokoh berbagai agama, termasuk para pemimpin dari kelompok yang sedang bertikai saat ini. Yang bertarung dengan atas nama agama.
Tapi inilah yang akan berlangsung di Bali, 2-3 November 2022 ini. Dalam agenda yang diberi label Forum Religion 20 atau R20. Agenda yang semula menjadi inisiatif dan dirajut Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf ini dimasukkan dalam bagian agenda G20 yang dipimpin dan digelar di Indonesia. Kebetulan, Presiden Jokowi memimpin Presidensi negara-negara dalam G20 ini.
Tentu, pertemuan yang melibatkan pemimpin agama seperti Katolik, Kristen-Protestan, Hindu, Budha, Yahudi dan agama lain itu bukan tak mendapat tantangan. Ada yang mempersoalkan kehadiran Rabi Yahudi dalam acara tersebut. Juga kehadiran tokoh Hindu dari India yang dikenal sebagai sumber kekerasan atas nama agama di negaranya.
R20 ini sebetulnya merupakan agenda yang telah dirintis lama Gus Yahya –demikian ia sekarang biasa dipanggil. Sejak tahun 2013. Ketika ia belum menjadi orang penting di NU, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia ini. Juga sebelum menjadi Katib Aam (Sekjennya Syuriah PBNU).
Saya mengenal Gus Yahya sejak mahasiswa. Bahkan, selalu bersama-sama dalam setiap aktivisme kemahasiswaan. Baik di organisasi intra maupun ekstra kampus. Karena itu, saya mengenali kebiasaan dan cara berpikir yang dia bangun sejak muda. Ia adalah pemikir tekun dan tahu cara menerapkan pemikirannya di lapangan.
Apa yang dilakukan sekarang adalah hasil renungannya sejak muda. Kemudian diperkaya ketika ia bersinggungan langsung dengan KH Abdurrahman Wahid –Gus Dur– yang menjadi referensi dan idolanya. Apalagi ia pernah membersamai Gus Dur sebagai juru bicara presiden ketika Gus Dur di Istana.
Gus Yahya bukan seorang tokoh agama yang hanya berpendidikan di pesantren. Ia juga mahasiswa sosiologi di UGM. Sehingga, ia mendalami ilmu-ilmu sosial sebagai perangkat dalam memetakan persoalan-persoalan masyarakat maupun peradaban dunia. Ia lincah baca kitab Alhikam karangan Ibnu Athoilah, tapi juga sangat paham teori-teori Habermas.
Karena itu, ia sangat akrab dengan teori-teori perubahan sosial. mulai dari teori klasik sampai dengan post modern. Yang bersumber dari teori-teori konfliknya Karl Marx maupun teori-teori fungsionalnya Max Weber. Singkatnya, ia mendalami dasar-dasar ilmu agama sampai dengan sosiologi.
Dalam ilmu agama, ia tidak hanya digembleng di Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang, yang dulu dipimpin ayahnya KH Cholil Bisri. Tapi juga hampir sepuluh tahun belajar di Ponpes Al Munawir Krapyak. Yahya Staquf juga belajar agama beberapa tahun di Makkah setelah tak ‘’kerasan’’ kuliah di Fisipol UGM, Jogjakarta.
Karena itu, ia selalu yakin dengan setiap gerakan yang dilakukannya. Baik sebelum aktif dalam kepengurusan di PBNU maupun sebelumnya. Ia tidak pernah gentar dengan proposisi yang telah dibangunnya. Termasuk bagaimana ia ingin menduniakan Islam damai yang ia yakini sebagai solusi baru peradaban dunia masa kini.
Karena itu, sejak tahun 2013, ia sudah memulai membangun jaringan internasional. Dengan sendenan (bersandar) kepada ketokohan KH A Mustofa Bisri alias Gus Mus yang masih pamannya sendiri. Melalui Bayt Arrahmah yang berpusat di North Carolina, Amerika Serikat. Sejak gerakannya hanya dilirik sebelah mata oleh berbagai pihak.
Ia tidak lelah. Bahkan, itu dilakukan dengan sumber daya yang sangat terbatas. Yahya Staquf sempat harus ke berbagai negara dengan bekal yang sangat terbatas. Berjam-jam perjalanan dengan kelas ekonomi hanya untuk mengikuti forum dunia. Dengan menumpang menginap di negara tujuan.
Rupanya, dalam diri Yahya Staquf terdapat nilai-nilai keagamaan, ideologi dan perjuangan KH Hasyim Asy’ari melalui sanat ayah dan pamannya (Cholil Bisri dan Gusmus). Tentu juga melalui sanat KH Ali Maksum, tempat ia menggembleng diri hampir satu dekade di Jogjakarta. Sementara, ada Gus Dur dalam dirinya soal strategi dan taktik serta kompetensi diplomasi.
Ia tidak pernah berpikir hanya sebatas Indonesia. Persentuhan dan jiwa ke-NU-annya selalu menarik dirinya untuk berpikir global. Misalnya, ketika NU selalu berbenturan dengan gerakan Islamist di Indonesia yang marak sejak 1990-an, ia tidak hanya menyiapkan solusi domestik. Tapi solusi global yang telah digarapnya sejak lama.
Misalnya, mengatasi Islam garis keras di tingkat domestik, ia melambung dengan menggalang diplomasi yang menembus kekuasaan Arab Saudi. Sebab, diakui atau tidak, sebelum terjadi reformasi besar-besaran saat ini, negeri tersebut adalah eksportir paham-paham keras dalam Islam. Ia pun tak takut risiko dengan datang ke Israel untuk mengglobalkan pemikirannya.
Hasil diplomasinya yang dibangun sejak lama tersebut terwujud dalam praktik saat ini. Terbukti, Forum R20 didukung Liga Muslim Dunia (MWL) yang dipimpin Syekh Mohammad Al-Issa. Ini adalah lembaga yang menjadi ‘’tangan kanan’’ penguasa Arab Saudi dalam diplomasi politik negeri tersebut.
MWL tidak hanya memberi dukung moril. Bahkan, ia bersedia menjadi co-host dengan host utamanya PBNU. Tentu ini menjadi legitimasi baru bagi NU dalam rangka menduniakan gagasan-gagasan Islam damai ke dunia global. Menjadikan Islam yang sudah hampir seabad menjadi praktik keseharian sebagian besar kaum Muslim di Indonesia.
Inisiatif Staquf –demikian saya lebih suka menggunakan istilah ini– bermula dari pemahaman dia tentang problem yang sedang dihadapi dunia sekarang. Menurutnya, pemahaman Islam yang dikembangkan para ulama NU bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi problem tersebut.
Tapi, untuk aplikasinya tidak bisa linier seperti yang digambarkan banyak penentangnya. Diperlukan ‘’pertobatan’’ bersama dari seluruh agama yang ada di muka bumi ini. Caranya dengan mencari akar yang memicu konflik dengan atas nama negara. Selain juga perlunya ‘’menghapus’’ alam bawah sadar permusuhan yang dipicu oleh sejarah relasi antar agama di masa lalu.
Forum R20 didesain melalui Inisiatif Staquf untuk itu. Bersama-sama memaknai ajaran-ajaran agama masing-masing dengan tafsir baru yang bisa membawa peradaban baru dunia. Peradaban yang lebih damai dan memberi kemanfaatan kepada ummat secara keseluruhan. Dalam bahasa Islam: Agama Rahmatan Lil Alamien.
Tentu setiap perubahan menuju peradaban baru tidak mungkin terjadi secara instan. Forum ini masih harus terus berlanjut dengan langkah-langkah aplikatif di masing-masing agama. Yahya Staquf sudah memulai dari lingkungannya sendiri. Bahkan, dalam usia seumur jagung, sebagai Ketum PBNU ia telah menggelar ratusan halaqah di berbagai pesantren tentang fiqh perdamaian.
Yahya Staquf meyakini bahwa KH Hasyim Asy’ari mendirikan NU bukan semata untuk mewadahi kaum Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Tapi untuk membangun peradaban baru yang menjadi visi kakek Gus Dur tersebut. Visi awal NU bukan hanya domestik Nusantara. Tapi visi global sehingga di awal pun sudah lahir Komite Hijaz yang membawa misi Nusantara di kancah dunia.
Setiap inisiasi, setiap gagasan, dan bahkan setiap perubahan tidak mesti selalu berjalan mulus. Pasti akan ada penolakan-penolakan. Apakah penolakan skala besar maupun kecil. Apakah penolakan karena kekurangpahaman atau karena kepentingan. Semua itu pasti disadari Staquf sebagai orang yang akrab dengan teori-teori perubahan sosial.
Tapi, seringkali gagasan perubahan akan berhasil ketika mendapatkan momentumnya. Selain tentu, karena kegigihan dan kecerdikan pembawa ide perubahan. Yahya Staquf memiliki keduanya. Ia juga telah memperoleh momentumnya.
Kalau kini ia masuk ke dalam 50 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia, itu sudah semestinya. Selain karena memimpin ormas Islam terbesar di dunia, ia adalah pembawa gagasan perubahan di dunia. Perubahan menuju peradaban baru dengan agama sebagai spiritnya.
Advertisement