Gus Yahya dan Semut di Zaman Namrudz, Ini Pandangan Sisi Berbeda
Banyak orang sudah datang ke Israel, bicara baik-baik dengan politisi, pemuka agama, dan NGO baik yang pro maupun kontra-zionisme untuk mengusahakan perdamaian dengan Palestina—hasilnya NOL.
Demikian ungkap M Kholid Syeirazi, Sekjen Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Hal itu dimaksud sebagai tanggapan atas tindakan Gus Yahya dan tampilnya di Global Forum di Yerusalem, Israel. Berikut pandangan lengkah M Kholid Syeirozi untuk ngopibareng.id:
Banyak juga yang sudah datang ke Palestina bawa uang, menggotong senjata, bertempur dan terbunuh, entah sudah beratus, beribu, atau beratus ribu nyawa melayang—hasilnya juga NOL.
Hampir tidak ada kemajuan apa pun, dari saya kecil sampai beranak-pinak dan entah sampai kapan, terkait prospek perdamaian di kawasan itu. Situasinya seperti buntu.
Saya kira sebagian besar kita, termasuk saya, menganggap Israel bangsa agresor yang dipimpin politisi zionis yang tidak mau berbagi tempat dengan Palestina. Di sisi lain, pejuang kemerdekaan Palestina terbelah. Hamas , faksi terkuat selain Fatah, juga ngotot tidak mau berbagi tempat dengan Israel, mengabaikan fakta bahwa negeri itu telah menjelma menjadi raksasa militer dan ekonomi dengan jaringan lobi terkuat di dunia.
Apa mungkin mengusir Israel dari tanah yang telah diklaimnya dan memindahkannya ke kawasan antah berantah? Kalau mungkin, mau dipindah kemana? Kalau seluruh dunia bersatu, dan ini agaknya mustahil, apa Israel mau? Mereka mengkoloni daerah itu karena klaim teologis dan historis tentang Tanah Israel (Eretz Yisrael) yang dijanjikan Tuhan di sebuah bekas wilayah Kerajaan Yehuda kuno.
Israel menjadi bangsa kuat karena ketakutan dan ancaman. Mereka pernah diaspora, hidup terlunta-lunta tanpa tanah air, diusir Firaun dan diburu Hitler, mengalami Holocaust, dan nyaris punah karena sentimen anti-semit yang meluas di Eropa. Berkat Deklarasi Balfour 1917 dan Mandat Britania atas Palestina 1922, mereka kembali ke tempat yang disangka menjadi tanah yang dijanjikan. Mereka bahkan tidak peduli bahwa di situ telah tinggal bangsa lain yang menetap turun temurun, punya hak hidup sebagai bangsa merdeka: Palestina.
Perjanjian Oslo 1993 menyepakati solusi dua negara, tetapi tidak gampang.
Perjanjian ini diteken di bawah otoritas PLO/Fatah dengan Israel, tetapi ditolak Hamas. Hamas ingin mendirikan Palestina berdasarkan Islam, PLO/Fatah berhaluan nasionalis sekuler. Fatah mengakui negara Israel, Hamas menolak. Hamas ingin Israel terhapus dari peta dunia. Hamas dan Fatah terkunci dalam perang saudara pada 2006.
Sejak saat itu, Hamas menguasai Gaza, Fatah menguasai Tepi Barat. Fatah yang kompromis dan setuju solusi dua negara dalam rangka peaceful co-existence juga gamang terkait status Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Seluruh faksi ingin tiga wilayah itu menjadi bagian tak terpisah dari negara Palestina merdeka. Situasinya menjadi buntu karena Israel juga telah menetapkan Jerusalem sebagai Ibu Kota yang tak terbagi.
Siapa pun tidak punya kemampuan menerobos kebuntuan ini. Andaikata kita demo tiap hari mengutuk Israel, Israel tidak akan mundur. Andaikata kita ikut memanggul senjata dan jihad bersama Hamas, itu hanya jalan pintas menambah daftar korban nyawa. Harus dicatat, Israel adalah negara kecil dengan kekuatan militer terkuat di dunia. Setiap kali Hamas menembakkan roket, Israel akan membalasnya dengan lebih sadis dan brutal.
Melawan Israel dengan kekerasan hanya menambah jumlah korban nyawa, termasuk warga sipil yang tidak berdosa. Andaikata kita pakai jalur ekonomi dengan memboikot produk-produk Israel, ini juga tidak akan benar-benar efektif selagi Amerika di belakang mereka. Kita juga tahu, produk-produk Israel dan Yahudi telah menyusup banyak dalam kehidupan manusia zaman now.
Sekarang kita ramai-ramai mencaci maki Gus Yahya C. Staquf karena mendatangi Israel tetapi tidak menyinggung isu Palestina. Andaikata Gus Yahya ngomong berbuih-buih soal Palestina, apa Israel bergeming? Apa tiba-tiba orang-orang zionis jadi lebih welas asih dan ingin hidup damai dengan menyerahkan Jerusalem kepada rakyat Palestina? Never!
Politik Luar Negeri RI sudah tegas, mendukung kemerdekaan Palestina dengan Jerusalem sebagai Ibu Kota. Apa yang kita lakukan sudah benar, meski kita tahu hasilnya NOL. Kita ibarat semut di zaman Namrudz. Dia menadah air dan menampungnya untuk memadamkan api yang akan membakar Nabi Ibrahim. Ketika dicela bahwa perbuatan itu sia-sia, semut menjawab: “Aku tahu perbuatanku tidak berguna, tetapi aku perlu tunjukkan kepada siapa aku berpihak.”
Sampai saat ini, dan entah sampai kapan, konflik Palestina-Israel belum akan selesai. Apakah ini kutukan sejarah karena di tempat itu dulu tertumpah darah para Nabi dan Rasul? Wallahu a’lam. Segala jurus sudah ditempuh, dari diplomasi damai hingga moncong senapan. Dua-duanya hasilnya NOL!
Saya kira Gus Yahya tahu. Beliau tidak akan mampu mengubah peta. Dugaan saya, beliau cuma ingin kirim pesan: meskipun sampai saat ini belum ada hasilnya, dialog, negosiasi, diplomasi harus tetap berdiri di depan dalam menyelesaikan konflik ketimbang kekerasan. Masa depan peradaban manusia terletak dalam dialog di mimbar nalar, bukan kekerasan di ujung senapan!
Demikian pandangan M Kholid Syeirazi, Sekjen ISNU. (adi)
Advertisement