Gus Yahya dan Sarung
Oleh: Rumadi Ahmad
Semula saya kira Gus Yahya sedang bercanda karena beliau memang suka bercanda. Dalam sebuah pidato acara PBNU beberapa saat setelah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU 2022-2027, Gus Yahya berseloroh kurang lebih begini: “Saya sengaja tidak pakai sarung karena khawatir dibilang menyaingi Rais ‘Am”. Saya tidak menganggap itu serius, candaan Gus Yahya.
Dalam Rakernas PBNU di Cipasung Tasikmalaya beberapa hari lalu (24-25 Maret 2022), Gus Yahya kembali mengulangi pernyataannya, "Jajaran Tanfidziyah dan pengurus Lembaga saya minta tidak memakai sarung di acara NU", katanya. Saya masih menduga ini sebagai candaan. Saya sendiri belakangan suka pakai sarung dalam acara-acara NU. Kawan-kawan saya juga mulai banyak yang suka pakai sarung.
Namun kali ini Gus Yahya tampak lebih serius. Bukan soal alasan menyaingi syuriah, tapi hal lain yang lebih substantif. “Ini bagian dari langkah kinetik NU. Dengan pakai celana merupakan simbol kita siap bekerja, lari ke sana ke mari, bahkan kalau diperintah panjat pohon”, katanya. “Kalau syuriah pakai sarung tidak apa-apa, tapi kalau tanfidziyah harus pakai celana karena tanfidziyah adalah pelayan syuriah,” tambah Gus Yahya.
Karena tampak serius, Ulil Abshar-Abdalla yang dipercaya menjadi Ketua Lakpesdam PBNU menggantikan saya angkat bicara di forum itu. Ketika itu dia pakai batik lengan pendek berpeci, tidak pakai blangkon seperti kalau ngaji ihya’.
Ulil bilang, “saya pakai baju lengan pendek ini merupakan symbol saya sudah siap untuk bekerja”, katanya disambut tertawa peserta Mukernas. Ulil juga sambil bercanda minta supaya Wakil Ketua Umum Nusron Wahid diberi peringatan karena masih pakai sarung. Gus Yahya pun menimpali, “Terima kasih Ulil yang sudah pakai peci”. Peserta Rakernas pun makin tertawa mendengar gojlokan dua saudara ini.
Dalam kesempatan ngobrol santai setelah sessi itu, Ulil cerita kalau Gus Yahya memang serius soal simbol-simbol kinetik ini. Bahkan Gus Yahya memperingatkan kepada Ulil, nanti kalau jadi pengurus PBNU jangan pakai blangkon kalau dalam acara resmi NU. Ulil tidak menjelaskan alasan Gus Yahya.
Namun, dalam Rakernas itu saya baru tahu ada hal serius yang dipikirkan Gus Yahya. Selama ini NU dikritik karena dianggap Jawa sentris. Itu yang menyebabkan NU kurang bisa berkembang di luar Jawa. Memang di kalangan generasi muda NU ada semangat yang sangat kuat untuk menggelorakan Kembali ke tradisi. Sarung dan blangkon adalah bagian dari simbol tradisi itu.
Dalam Rakernas itu, Gus Yahya juga memberi komentar keras terhadap perencanaan program yang menggunakan idiom-idiom Jawa. Gus Yahya langsung minta supaya dicarikan padanan Bahasa Indonesia. “Untuk mengurangi beban NU dituduh Jawa sentris”, ujarnya.
Sekali lagi, ini langkah kinetik simbolik untuk memompa semangat. Anda tidak perlu memperpanjang dengan bertanya, apakah kata “Pancasila” dan “Bhineka Tunggal Ika” yang beraroma Bahasa Jawa juga perlu diubah. Tidak ada yang lebih mengasyikkan di NU, kecuali serius dalam bercanda, dan bercanda dalam serius.
Advertisement