Gus Yahya dan Cara Hadapi Radikalisme
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan munculnya kelompok radikal yang ingin mengembalikan tatanan sosial politik di masa lalu menjadi ancaman bagi semua bangsa dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebagai negara yang dikenal memiliki bangsa yang heterogen, multialiran, multietnis, Indonesia harus mewaspadai benih-benih radikalisme.
Dalam rangkaian acara Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (Diklatpimnas) II yang digelar 6-12 Desember 2021 di Serang, Banten, Gus Yahya menjelaskan Genealogi Ekstremisme atau Radikalisme dan Ancaman bagi Indonesia kepada 80 peserta Diklatpimnas terpilih, yang merupakan mahasiswa PTKI seluruh Indonesia.
Gus Yahya menjelaskan ada dua faktor yang mempengaruhi eksistensi gerakan kelompok radikal semakin menguat dewasa ini. Pertama, motivasi kejayaan sosial politik di masa lalu yang pernah dicapai pada masa peradaban Dinasti Turki Utsmani.
Dinasti Turki Utsmani, dikatakan Gus Yahya, berhasil menjadi simbol kejayaan umat Islam yang mewarisi sistem daulah sebelumnya yaitu Abbasiyah. Format sosial politik Turki Utsmani ini menjadi konstruksi peradaban Islam yang lama sukses mengekspansi wilayah-wilayah politik.
Faktor kedua, kata Gus Yahya, ketidakstabilan tata kelola dunia, sehingga memicu kegagalan sistemik sering terjadi pasca Perang Dunia II. Upaya penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina menjadi satu contoh dari permasalahan sosial, yang berhasil menyita perhatian masyarakat internasional. Selain itu, keinginan negara menguasai dan merebut wilayah perbatasan baik darat maupun laut sering kali terjadi.
"Ini ancaman terhadap format tatanan dunia pasca Perang Dunia II, jika tata dunia ini runtuh, maka Indonesia juga runtuh," kata Yahya dalam keterangan tertulis dikutip, Jumat 10 Desember 2021.
Tokoh NU ini mengingatkan peserta ada dua hal yang harus digarisbawahi untuk menanggulangi potensi radikalisme di Indonesia. "Pertama, kita tidak bisa pisahkan, antara problem radikalisme trans nasional dengan problem radikalisme domestik yang muncul di Indonesia," kata Yahya.
Kedua, perlu dikaji mendalam hingga akarnya bahwa radikalisme lebih berorientasi pada kepentingan politik dibandingkan agama. "Saya ingin tekankan di sini, lihat realitas sebetulnya bahwa kita harus melihat radikalisme ini sebagai pilihan politik dengan cara menguliti atau membedah konsekuensi realistisnya. Itu lebih kita butuhkan daripada kita berdebat soal rujukan dalil, karena ini dasarnya adalah politik," katanya.
Dalam kesempatan itu, Gus Yahya juga mengungkapkan dirinya tidak rela jika Indonesia harus bubar sebagaimana negara Timur Tengah seperti Suriah, karena adanya kepentingan kelompok yang berupaya menciptakan kerusakan luar biasa dengan memanfaatkan teknologi militer.
Untuk diketahui, Diklatpimnas II PTKI berlangsung sepekan dari 6-12 Desember 2021 yang dilakukan secara daring dan luring. Selain Gus Yahya, narasumber lain yang hadir adalah Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Menpora Zainuddin Amali, dan Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro.