Gus Ulil: Syarat dan Keutamaan Etika Belajar
Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, KH Ulil Abshar Abdalla mengulas soal tema-tema penting yang akhir-akhirnya seolah terabaikan. Itulah etika. Etika dalam belajar mennjadi pembahas menarik.
Dalam pengajian diampu Pengasuh PP Ghazalian College Gus Ulil Abshar Abdalla, sejumlah catatan yang berhasil dirangkum Salman Akif Faylasuf.
Faktanya seseorang pasti punyak aturan dan tahap-tahap tertentu untuk bisa melangsungkan kehidupnya di dunia ini. Manusia tidak akan bisa hidup sempurna tanpa memperhatikan tahapan-tahapan tersebut. Demikian halnya juga dengan orang belajar santri (thalib al-ilm) punyak aturan main tersendiri. Baik belajar ilmu yang sifatnya keislaman maupun keduniaan serta ilmu-ilmu lainnya, selalu ada etika dan tata-cara yang harus di ikuti oleh seorang santri ketika belajar.
Syaikh az-Zarnuji misalnya dalam kitab Ta’limul Muta’alim menuliskan syair indah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, tentang syarat dan etika belajar seorang santri:
الا لا تنال العلم الا بستة سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة وارشاد استاذ وطول زمان
“Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu yang berkualitas kecuali dengan memenuhi enam syarat. Aku akan beritahukan semuanya secara terperinci, yaitu kecerdasan, kemauan yang kuat, kesabaran yang tinggi, biaya pendidikan yang cukup, adanya bimbingan guru (patuh pada ustadz), dan waktu yang lama.”
Belajar Memperlakukan Ilmu
Syahdan, menurut Gus Ulil, ada banyak hal yang berharga dalam ajaran-ajaran ulama Islam, tentang bagaimana kita belajar dan bagaimana kita memperlakukan ilmu. Dalam hal ini, tugas seorang santri sebelum memasuki dan memulai kegiatan belajar dikelas, yang harus ditanamkan dalam fikirannya supaya belajar lebih efektif terlebih membawa manfaat.
Adalah membersihkan hati dan jiwa dari radhail al-akhlaq (sifat buruk). Membersihkan hati, karena konsepsi al-Ghazali tentang seorang yang mencari ilmu adalah “ibadah qalbiyah” (ibadah hati). Artinya, seseorang yang mencari ilmu dia sudah beribadah secara fikiran. Penguasaannya, mensyaratkan hati yang jernih dan bebas dari sifat-sifat yang buruk. Karena itu, tak heran jika di pesantren-pesantren biasanya dianjurkan berwudhu’ terlebih dahulu sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung. Sebuah hadits mengatakan:
لا تدخل الملائكة بَيْتَا فيه كلب
“Dan tidak akan masuk malaikat kedalam rumah yang didalamnya terdapat anjing”.
Tentang hadits diatas, al-Ghazali memberikan tafsir yang berbeda. Al-Ghazali memberikan makna metaforis (majaz); “rumah” dimaknai dengan “hati” manusia, dan “anjing” bermakna sebagai lambang “sifat buruk”. Jelasnya: “Malaikat tidak akan memasuki hati manusia yang didalamnya masih terdapat sifat-sifat yang buruk (radhail al-akhlaq).”
Gus Ulil juga mengatakan bahwa dalam kitab Misykat al-Anwar, al-Ghazali menjelaskan, semua ilmu itu bersifat ilahiyah dan berasal dari alam malakuti, kecuali ilmu-ilmu tercela seperti, ilmu sihir. Itu artinya, ilmu hanya dapat diserap oleh perangkat halus yang memiliki sifat-sifat ilahiyah (hati suci). Malaikat sang pembawa wahyu dan ilmu, tidak akan pernah masuk kedalam rumah; hati manusia yang dikotori dengan sifat-sifat buruk seperti, sifat dengki, hasud, dan lainnya.
Jelas, bahwa orang yang dalam hatinya masih ada sifat buruk, maka selamanya malaikat tidak akan pernah memasukinya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, bisa saja dia sukses secara akademis seperti, meraih titel PhD misalnya. Tapi, ilmu yang di peroleh bukan dalam kategori ilmu hakiki dan al-jalib as-sa’adah (mendatangkan kebahagiaan), melainkan ilmu yang bisa mendatangkan kecelakaan. Termasuk kecelakaan kita sekarang, dalam bahasa Sayyid Husein Nasr disebut dengan “kesengsaraan manusia modern”, yang bisa menghancurkan alam.
Al-Ghazali menuliskan, istilah yang tepat untuk orang-orang ini adalah “al-mutarassimun”, yaitu orang yang hanya memahami dan meraih ilmu sebatas (rasm) tulisan saja (belajar hanya dipermukaan saja), tidak dengan memahami ilmu secara hakiki, sehingga ilmu yang di perolehnya tidak tertanam pada “sum-sum” batinnya (akibat kekeringan jiwa dan crisis of meaning). Pendek kata, ilmu yang tidak transformatif (tidak bisa merubah dirinya).
Tak hanya itu, al-Ghazali juga mengkategorikan bahwa, orang yang mengerti tindakan-tindakan maksiat yang melanggar akhlaq (etika), ia seperti racun yang membunuh. Orang itu tahu bahwa racun bisa membunuh, tapi masih kokoh untuk meminumnya. Sekali lagi, ini adalah petanda bahwa ilmunya tidak bisa merubah dirinya dan tidak mendatangkan kebahagiaan.
Alih-alih tak bisa merubah, sambung Gus Ulil, hal inilah yang paling sering bahkan dilupakan oleh pencari ilmu sekarang, terlebih dalam dunia modern yang kecenderungannya materialistik dan redusksionis. Ia memandang segala sesuatu dari jism bisa di indera dan didefinisikan. Bahwa segala yang ada di alam ini bersifat accidental (kebetulan), random, dan purposeless (tanpa tujuan). Bentuk yang bisa bertahan adalah yang paling absolut, yang sesuai untuk kondisi saat ini, tak terkecuali ilmu yang kemudian direduksi hanya sebagai informasi saja tanpa dimasuki nilai-nilai dan dimensi spiritualitas.
Artinya, ilmu pengetahuan saat ini sudah menjadi instrumental; terjadi proses instrumentalisasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya yang dikatakan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yaitu mencari ridha Tuhan, melainkan hanya (diperlakukan) sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sepenuhnya bersifat duniawi saja, pungkas Gus Ulil. Wallahu a’lam bisshawab.
— PP Ghazalian College Gus Ulil Abshar Abdalla
16 Agustus 2022,
Salam, Salman Akif Faylasuf