Gus Sholah.. Terima Kasih Telah Menjaga NKRI !
Ketika semangat heroisme dan patriotisme ummat menipis karena banyak faktor, termasuk akibat hedonisme yang akut, Sultan Saladin alias Salahuddin Al Ayyubi, tampil sebagai figur yang memberi harapan. Sejarah mencatat orang ini salah satu tokoh muslim terbesar. Figurnya menjulang hingga disegani banyak pemimpin dunia di masanya.
Konon, menurut sanad mutawatir, pemberian nama Salahuddin, terinspirasi oleh kepahlawanan Sang Sultan. Di tangan Saladin, semua kekuatan Islam yang terserak ke dalam banyak perbedaan ; sekte, mazhab, pandangan, pemikiran, kutub politik, disatukan untuk membendung gelombang serbuan lawan.
Semangat itu pula yang terus dinyalakan oleh Gus Sholah--KH Salahuddin Wahid, hingga Allah SWT memanggilnya 2 Februari 2020, malam Senin awal pekan ini. Menurut Gus Ipang--Irfan Asy'ari Wahid, putra almarhum, Gus Sholah tak pernah berhenti meyakinkan banyak pihak yang masih ragu bahwa perbedaan adalah kekayaan sekaligus kekuatan bangsa Indonesia.
"Saat menunggu operasi, Gus Sholah tetap aktif menuliskan pikiran-pikirannya tentang NKRI lewat gadget," kata Gus Ipang. Penulis sendiri, setiap sempat, meminta up date perkembangan persiapan operasi Gus Sholah dari Gus Ipang. Hingga akhirnya, datang kabar yang menggedor dada, Gus Soholah "mangkat". Inaalillaahi Wa Innaa Ilaihin Rojiun : selamat jalan, Pak Lik!
Dalam ingatan Penulis, Gus Sholah, adalah figur yang memegang teguh prinsip demokratis. Berbeda adalah sesuatu yang jamak ditemukan dalam huhungan antaranggota di keluarga besar Gus Dur, kakak kandung Gus Sholah. Kebetulan, kurang lebih satu dekade, Penulis ikut "hidup" di tengah keluarga Gus Dur. Bergaul dengan mereka.
Di akhir pekan atau hari-hari tertentu, Gus Dur secara berkala, menjadual kunjungan ke ibunya, Bu Wahid Hasyim, dan ke saudara-saudaranya. Kebiasaan ini, dilakukam oleh semua anggota keluarga. Di tengah acara saling kunjung itu, sering terjadi pembicaraan yang mengarah para perberdaan sudut pandang atas suatu masalah.
Gus Sholah sangat menjunjung tinggi perbedaan karena setiap orang memiliki pandangan yang belum tentu sama, namun tetap sesuai koridor sehingga menjadikan seseorang lebih bijak. Gus Sholah, tidak memaksakan pendapat mesti sama dalam melihat sebuah persoalan. Pantang bagi Gus Sholah, menyelesaikan perbedaan dengan saling hujat.
Termasuk perbedaan perspektif antara Gus Sholah dengan Gus Dur. Ketika orang ramai membicarakan kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), publik tahu benar bagaimana runcingnya beda pandangan antara dua putra KH Abdul Wahid Hasyim itu. Gus Dur di garda depan penentang ICMI dan Gus Sholah justeru jadi pengurus teras organisasi besutan penguasa Orde Baru itu.
Robin Bush di buku Nahdlatul Ulama and The Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia mencatat, Gus Sholah berdebat secara terbuka dengan Gus Dur soal bagaimana gagasan KH Wahid Hasyim diimplementasikan di Indonesia. Perdebatan publik ini berlangsung dengan salingbalas artikel di surat kabar Media Indonesia dari tanggal 8 s/d 23 Oktober 1998.
Ketika Gus Dur menyikapi lahirnya reformasi dengan membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Sholah tak sepemikiran. Alasannya, NU terlalu besar untuk diagregasi hanya oleh PKB. Bagi Gus Sholah, NU berpotensi menjadi kecil jika mengarahkan dukungan hanya kepada satu partai politik tertentu, karena arahan PBNU tidak serta-merta diikuti di akar rumput.
Dengan sikap dan pikirannya itu, Gus Sholah telah memainkan peran yang tidak kecil, ikut menjaga keutuhan NKRI dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sosoknya begitu menjulang di tengah diskurus pentingnya menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai sintesa atas beragam pandangan mengenai kenegaraan dan ke-Indonesia-an mutakhir.
Sebagai sosok yang lahir dari rahim pesantren, PP Tebu Ireng Jombang, Gus Sholah amat paham soal bagaimana Islam dan Indonesia harus berjalan beriringan. Inilah warisan yang diperoleh dari ayah dan kakeknya, dua pahlawan nasional. Pandangan dan pikirnnya soal NKRI, gampang ditemukan dalam karyanya, baik esai, artikel atau buku.
Gus Sholah menerbitkan sebuah buku berjudul “Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan” yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng pada tahun 2017. Komitmen kebangsaannya, ia tunjukkan saat duduk sebagai anggota MPR-RI pada masa awal reformasi 1998, dan pembelaannya atas kemanusiaan, ia buktikan saat menjadi wakil ketua Komnas HAM pada tahun 2002.
Namanya kian go public, ketika Gus Sholah maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2004, berpasangan dengan Wiranto. Pasangan calon ini menempati urutan ketiga di bawah Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi, dengan suara sekitar 20%.
Usai hiruk pikuk itu, Gus Sholah kembali ke Jombang. Mengasuh pesantren warisan keluarga, PP Tebuireng. Beliau memantabkan khidmah ke-Islaman, kebangsan dan ke-Indosia-annya dengan mengasuh pesantren dan menulis sampai akhir hayatnya. Selamat jalan Gus Sholah. Terima kasih telah menjaga NKRI !
*)Saifullah Yusuf (Gus Ipul) adalah Ketua PBNU
Tulisan ini telah dimuat di Jawa Pos edisi 4 Februari 2020