Gus Muwafiq, Soal 'Rembes' dan Pentingnya Menahan Diri
Gara-gara ceramah Gus Muwafiq yang menyebut masa kecil Kanjeng Nabi Muhammad, "rembes" sebagai ilustrasi nuansa manusiawinya, mendapat respon berlebihan dari masyarakat. Hingga ada yang melaporkan ke pihak kepolisian dengan dalih "penistaan agama'.
Benarkah demikian?
Seorang aktivis sosial dari pesantren, Roy Murtadho, menyampaikan sejumlah renungan. Ia pun mengingatkan agar semua pihak untuk pandai menahan diri. Berikut tulisan lengkap Roy Murtadho:
REMBES. Soal Gus Muwafiq bilang "rembes" saat mengilustrasikan kehidupan Nabi di masa kanak-kanak, nggak usah dilebih-lebihkan. Jangan pula, sedikit-sedikit menuding orang sebagai menistakan agama. Ini berbahaya bagi kebebasan berpendapat di negeri ini. Saya kira ini penting dimengerti semua kelompok Islam yang sedang saling serang saat ini, untuk menahan diri. Kalau tidak, sengkarut permusuhan seperti ini tak akan pernah selesai dan makin memperkeruh relasi antar kelompok di dalam Islam. Tapi, ya itu kalo mau saling introspeksi. Kalau tidak mau ya monggo. Masih banyak urusan rakyat yang bisa jadi perhatian bersama daripada ribut sendiri yang tidak perlu. Jangan sampai timbul skisme yang makin parah dan merugikan semua orang. Nambah-nambahi masalah kalo kata orang Jawa.
Kalau memang hendak berdebat soal sejarah kanak-kanak Nabi ya itu tugas penstudi sejarah Islam. Bukan tugas para da'i yang nggak pernah nulis satu artikel pun atau nggak pernah riset sekalipun. Dan rujukannya juga bukan barzanji, diba' atau syiir pujian-pujian pada nabi, yang berangkat dari rasa cinta yang menggebu (love narration), melainkan sumber-sumber sejarah yang otoritatif di masa Islam perdana. Bisa juga melihat pandangan orang semacam Thaha Husein yang cukup kontroversial di jagat pemikiran Islam.
Jujur, perihal yang tengah diributkan saat ini, saya membela Gus Muwafiq. Meski dalam banyak cermahnya, beberapa kali mendengarnya, banyak sekali saya tidak bersepakat dengannya. Bahkan cenderung gelisah tiap mendengar ceramahnya ketika bicara sejarah yang menurut saya lebih dekat dengan klenik ketimbang sebuah kajian yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademik. Misal ketika beliau cerita soal Jenglot yang disebutnya sebagai orang yang gagal mencapai moksa. Pandangan seperti ini jelas menyesatkan dan tidak mendidik umat Islam.
Narasi yang dibangun Gus Muwafiq, alih-alih mengajak umat belajar pada para pejuang, dan pemikir Islam, justru makin menebalkan alam pikir feodal, yang membunuh nalar kritis umat Islam. Apa yang beliau sampaikan di banyak forum, selain berfungsi sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat, juga sebagai jangkar yang makin memperkukuh patronase. Umat digembalakan layaknya domba yang digiring ke sana ke mari tanpa pernah diajak berpikir kritis atas realitas hidup yang sedang mereka hadapi, yakni hidup di alam Kapitalisme mutakhir, hidup di atas bumi yang porak-poranda, hidup di tengah ketimpangan akut yang mengenaskan dan berpotensi mematikan kemanusiaan. Pada aspek ini tak ubahnya dengan banyak ceramah agama lainnya, konten dan teknik ceramah Gus Muwafiq menjadi racun bagi umat.
Cerita-cerita yang dibangun, se-mengesankan apapun bagi para pemirsa yang mendengarnya, tidaklah berdiri di atas fondasi pengetahuan yang mapan dan bisa dipertanggungjawabkan. Kalau kita lihat masih banyak sekali kisah-kisah yang Gus Muwafiq sampaikan tidak bisa dilacak sumbernya. So, kita nggak bisa gegabah mendaulatnya (dan siapapun) sebagai ahli tertentu. Dan dalam konteks yang sedang kita bicarakan adalah ahli sejarah atau sejarahwan Islam. Bukan berarti saya hendak mengecilkan peran beliau. Tapi hemat saya, umat Islam mesti belajar (atau diajar) untuk tidak gegabah menyematkan gelar tertentu pada seseorang tanpa kualifikasi yang jelas parameternya. Jangan gampang menilai orang ahli ini dan itu kalau belum terbukti (meski tidak secara akademik melalui sebuah universitas) menghasilkan karya di isu yang tengah digelutinya.
Singkatnya, saya tidak sepaham dengan banyak sekali perspektif Gus Muwafiq. Bukan berarti saya anti padanya. Ini murni soal kritik, perspektif dan posisi etis maupun politis. Apalagi kalau urusan ekonomi politik jelas garis saya berseberangan 180 derajat dengan beliau.
Misal berukangkkali beliau cerita perihal wali ini dan itu yang konon dikisahkan sebagai punjer (tonggak sebuah wilayah tertentu) dls. Term punjer ini perlu dijernihkan. Bila tidak, rentan sekali dimaknai lain. Seolah-olah peran si tokoh yang dikatakan wali tersebut sangat sentral dan menjadi episentrum jagat ekologis dan politis sebuah wilayah dimana sang wali tersebut tinggal. Padahal kalau parameternya seorang wali adalah peran seseorang pada penanggulangan krisis ruang hidup yang dihadapi umat Islam saat ini. Sang wali tadi, justru sebaliknya, tidak punya peran apapun untuk menyelamatkan ruang hidup yang nyaris porak poranda secara permanen seperti saat ini. Bahkan beberapa kali, mohon maaf, sebagai murid tarekat, saya seringkali merasa sedih orang yang dielu-elukan sebagai wali justru saya dapati berdiri dibarisan oligarki bahkan (entah disadari atau tidak) turut melanggengkan perampasan tanah dan perusakan lingkungan.
Pada aspek pandangan keagamaan Gus Muwafiq, atau para ustadz seleb yang lagi ngetrend seperti sekarang ini perlu ditantang bahkan bila perlu dibantah dengan hasil riset. Bukan dengan olok-olok dan mengumbar kebencian. Karena sama-sama punya tendensi apolitisnya, dan sama-sama tidak menguntungkan bagi nasib umat. Apa coba kaitan ceramah mereka dengan pulau-pulau kecil yang sedang dijarah para bandar yang turut mensponsori sholawatan dan ceramah mereka? Tak sedikit, mohon maaf, harus saya katakan di sini, beberapa orang yang saya kenal tokoh agama, mereka diundang mengisi acara ceramah dan sholawatan dari bisnis ekstraktif yang merusak dan membunuh rakyat.
Tapi dari semua itu. Saya membela Gus Muwafiq dan siapapun yang hendak dijerat dengan pasal penodaan agama. Saya anti pasal tersebut dan saya sangat menghargai pandangan beliau soal masa kanak-kanak Nabi. Meski beliau nggak menunjukkan basis analisisnya, sebenarnya sudah fair. Karena hendak mengatakan bahwa sehebat apapun Nabi, tetaplah menyejarah. Nabi bukan manusia supra-human, melainkan human (apalagi sebelum diangkat menjadi Rasul). Sehebat apapun junjungan kita, sebagai manusia, juga pernah sakit layaknya manusia lainnya. Artinya Nabi punya gejala-gejala yang sama dengan makhluk hidup lainnya, meski tentu saja memiliki kualitas moral di atas kebanyakan manusia lainnya.
Advertisement