Gus Mus pun Gandrung Umi Kultsum, Ternyata Ini Alasannya (2)
KH Ahmad Mustofa Bisri mempunyai kegairahan dalam menikmati alunan lagu-lagu yang dilantunkan Umi Kultsum. Penyanyi legendaris Mesir ini, menjadi idola Gus Mus karena pengalamannya ketika belajar di Kairo, Mesir.
Intelektual Muslim, Ulil Abshar Abdalla mencoba menguraikan sejauhmana Gus Mus terpesona dengan suara Sang Diva. “Gus Mus dan Umi Kultsum:Tentang kultur musik kaum santri”, demikian judul catatan Gus Ulil. Berikut bagian terakhir dari catatan Gus Ulil itu:
Lagu-lagu Ummu Kultsum memiliki beberapa ciri-khas yang "tidak normal". Hampir semua lagunya direkam pada saat konser, bukan di dalam studio. Suara riuh rendah para penonton yang bertepuk-tangan dan berteriak histeris terkagum-kagum pada penyanyi ini, masuk seluruhnya dalam rekaman, membentuk "lanskap musikal" yang khas pada lagu-lagi Ummi Kultsum.
Ciri lain: lagu-lagu Ummi Kultsum biasanya berdurasi panjang, rata-rata antara tiga puluh hingga empat puluh menit. Ini durasi satu lagu saja! Saat ia mulai menyanyi, biasanya musik pengiring seperti begerak mundur, memelan, sehingga berperan sekadar sebagai "latar belakang" belaka.
Dalam musik Ummi Kultsum, yang paling utama adalah suara dia, sementara musik hanya "pendherek" atau pendamping belaka.
Kegemaran keluarga Leteh (nama desa tempat tinggal Gus Mus dan keluarga besar Mbah Bisri di Rembang) pada musik Ummi Kultsum dimulai sejak lama, sejak Kiai Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus). Waktu masih kecil dulu, beberapa kali saya sempat mendengarkan ceramah Mbah Bisri di daerah Kajen, Pati.
Salah satu bagian dari pidato Mbah Bisri yang paling saya suka adalah saat beliau melantunkan ayat-ayat Qur'an: beliau selalu menirukan gaya Ummi Kultsum dalam melantunkan Qur'an; bergelombang, mengalun, membuai para hadirin dan hadirat. Di ujung pembacaan ini, biasanya para jamaah menyahut serentak: Allaaaaah...
Gus Mus pernah menulis laporan konser musik Ummi Kultsum di Mesir pada awal tahun 1970an, dan dimuat di majalah Intisari. "Tiket konser Ummi Kultsum selalu terjual habis tiga bulan sebelum hari H," kisah Gus Mus suatu ketika kepada saya.
Jika berada di Kairo, ibu kota Mesir, dan naik taksi yang sebagian sudah amat tua (mobil buatan Rusia dari zaman Gamal Nasser di tahun 60an) itu, kemungkinan besar Anda akan mendengar lagu-lagu Ummi Kultsum mengalun dari radio yang sudah butut.
Bagi keluarga santri NU yang hidup pada dekade 60-70an, menggemari musik Ummi Kultsum bukanlah barang aneh. Suara indah dua "pendendang" masyhur dari Mesir, yaitu Ummi Kaltsum dan Syekh Mahmud al-Hushari (pelanggam Qur'an yang masyhur dan paling saya sukai), selalu menjadi "ciri khas musikal" dari rumah-rumah para santri Nahdliyin.
Keluarga saya sendiri, terutama ayah saya, Kiai Abdullah Rifa'i, juga pecinta fanatik Ummi Kultsum. Ayah saya adalah kiai "galak" yang, terus-terang saja, mengharamkan musik. Tetapi beliau membuat satu istitsna', perkecualian: musik Ummi Kaltsum. Tidak haram. Meski demikian, ayah saya hanya memutar lagu-lagu Ummi Kultsum pada hari Jumat pagi, usai ngaji tafsir Jalalain.
Kadang-kadang ayah saya juga memutar musik ini pada saat ada momen-momen perhelatan khusus: sunatan, pengajian umum, dll.
Sekarang ini, tampaknya popularitas Ummi Kultsum di kalangan generasi baru santri NU sudah memudar, "ditenggelamkam" (meminjam istilah Bu Susi) oleh para penyanyi baru, baik nasional atau internasional -- termasuk, tentu saja, penyanyi K-Pop.
Saya berpandangan bahwa musik Ummi Kultsum adalah salah satu ciri-khas kultural komunitas nahdliyyin. Karena itu, rasanya penting membangkitkan kembali di kalangan generasi baru NU saat ini kecintaan pada musik-musik Ummi Kultsum, agar tradisi Mbah Bisri dan kiai-kiai lain terdahulu ini terus bertahan.
Para santri millenial jangan hanya piawai menyayikan lagu "Ya Lal Wathan" saja, melainkan juga lagu-lagu Ummi Kultsum.
Sekian.
---------
Advertisement