Gus Mus pun Gandrung Umi Kultsum, Ternyata Ini Alasannya (1)
KH Ahmad Mustofa Bisri mempunyai kegairahan dalam menikmati alunan lagu-lagu yang dilantunkan Umi Kultsum. Penyanyi legendaris Mesir ini, menjadi idola Gus Mus karena pengalamannya ketika belajar di Kairo, Mesir.
Intelektual Muslim, Ulil Abshar Abdalla mencoba menguraikan sejauhmana Gus Mus terpesona dengan suara Sang Diva. “Gus Mus dan Umi Kultsum:Tentang kultur musik kaum santri”, demikian judul catatan Gus Ulil. Berikut bagian pertama catatan itu:
Dalam perjalanan pulang ke Rembang, Selasa, 24 Februari 2020, setelah hampir dua minggu di Tanah Suci untuk menjalankan umrah, Gus Mus bercerita banyak tentang penyanyi perempuan asal Mesir yang paling ia kagumi: Ummi Kultsum (ia wafat persis pada bulan ini, Februari 1975).
Lagu Ummi Kultsum yang berjudul "Ana fi-ntidzarik" (aku menunggumu) seperti mengambang, mengalun indah di udara, memenuhi ruang-dalam mobil yang kami tumpangi, menelusuri Jalan Daendels (atau Jalan Pos, istilah yang dipakai oleh Pramoedya A. Toer) sepanjang pantura. Saya pun ikut menikmati lagu ini, sambil menerka makna beberapa kalimat di sana yang tak seluruhnya saya pahami.
Sebagian besar lagu-lagu Ummi Kultsum ditulis dengan menggunakan bahasa Arab pasaran (al-lugha al-darijah, colloquial) ala Mesir. Saya sendiri tak menguasai dengan baik bahasa Arab 'ammiyyah ini.
Ada satu frasa dalam lagu ini yang diulang-ulang oleh Ummi Kultsum: Yarit (يا ريت). "Apakah Yarit maksudnya: "tahukah kamu?" Abah," tanya saya. "Bukan. Yarit maknanya: andai aku," jawab Gus Mus. Kemudian beliau menjelaskan konteks penggunaan frasa ini dalam sebuah kalimat lengkap yang biasa dipakai di Mesir.
Gus Mus, bersama Gus Dur, memang sempat belajar lama di Mesir pada akhir 60an dan awal 70an -- tahun-tahun paling produktif dari karir musiknya Ummi Kultsum. Tak heran jika beliau cukup menguasai bahasa Arab pasaran ala Mesir.
Ketika pulang belajar, beliau bahkan sempat diminta oleh Kiai Maksum Lasem (ayahanda dari Kiai Ali Maksum Krapyak) untuk mengajar bahasa Arab 'ammiyyah atau pasaran ala Mesir ini.
Salah satu santri yang pernah mengikuti "kursus bahasa Arab pasaran" ini adalah Kiai Masyhuri Malik, ayah mertua dari Hamzah Sahal, pendiri portal yang lagi naik daun sekarang: Alif.id.
Sesekali, dalam perjalanan, Gus Mus menirukan beberapa lirik dalam lagu Ummi Kultsum itu: Yaritni 'umri ma habbait, ataqallab' ala gamrin nar, wattasyarrad wa yal-afkar (andai dalam hidup ini aku tak pernah mencintaimu, aku seperti berguling-guling di atas bara api, aku seperti orang yang terusir).
"Ada dua laki-laki yang sama-sama mencintai Ummi Kultsum," kata Gus Mus. Yang pertama adalah Ahmad Rami yang menulis sebagian besar lirik lagu-lagu Ummi Kultsum; kedua, Riyadh al-Sunbathi yang khusus menggubah dan mengaransir lagu-lagu dia.
Sekadar catatan: Ada istilah khusus dalam bahasa Arab untuk dua hal itu. Dalam istilah permusikan Arab, lirik disebut "kalimat" (كلمات); sementara lagu atau melodi adalah "alkhan" (ألحان).
Mereka tampaknya kurang beruntung. Sebab, Ummi Kultsum akhirnya tidak menikah dengan dua "cowok keren" ini, melainkan dengan seorang dokter THT yang biasa menangani masalah tenggorokannya.
Jika kita berada di "ndalem" atau rumah Gus Mus di Rembang, hampir setiap saat bisa dipastikan kita akan mendengarkan lagu-lagu Ummi Kultsum. Sepanjang malam, saat tidur, beliau biasa ditemani oleh lagu-lag dia.
Di mobil beliau, selalu tersedia banyak CD hampir semua album Ummi Kultsum. Hampir tak ada musik yang diputar di dalam mobil Gus Mus selain lagu-lagu penyanyi Mesir yang dikenal dengan "jejuluk" atau sebutan "Kaukab al-Syarq" (Bintang dari Timur) ini.
Sepanjang perjalanan tiga jam dari Semarang ke Rembang siang kemaren, lagu "Fi-ntidzarik" diputar terus, berulang-ulang. (Bersambung)