Gus Mus: Bedakan Ghirah Keagamaan dan Nafsu
KH Ahmad Mustofa Bisri selalu memberikan renungan dalam hal keberagamaan di tengah masyarakat. Demikian pula soal gairah beragama yang cenderung meningkat. Tapi, benarkah demikian?
Gus Mus, panggilan akrab Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang ini bertanya. "Bagaimana membedakan antara Ghirah Keagamaan atau Semangat keberagamaan dengan Nafsu?"
Menurut Gus Mus begini, "Ghiirah Keagamaan atau Semangat Keberagamaan mendorong untuk terus memperdalam pemahaman agama dan memperkuat keimanan."
"Sementara Nafsu hanya melahirkan fanatisme buta yang justru menjauhkan akal sehat yang diperlukan untuk beragama dengan baik. Itu menurutku. Bagaimana menurut Anda?" kata Gus Mus penuh tanya, dalam akun facebooknya, Sabtu 16 November 2019.
Dalam catatan ngopibareng.id, Gus Mus pernah menyampaikan pesan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan.
“Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam?” kata Gus Mus.
Gus Mus sempat merasa bingung karena kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.
“Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom,” sindir Gus Mus.
“Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru laknatan lil alamin,” tambah Gus Mus.
Untuk itulah, lanjut Gus Mus, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara. “Tapi geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,” jelasnya.
Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu.
Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo.
“Islam ngono iku sing digoleki wong kono (Islam seperti itu yang dicari orang sana), Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan (tidak mentang-mentang), dan yang rahmatan lil ‘alamin,” terangnya.
Walisongo, menurut Gus Mus, memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad.
“Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” tutur Gus Mus.
Advertisement