Gus Mus: Aku Sibuk Kuliah, Gus Dur Sudah Berpikir Indonesia
Desember Bulan Gus Dur. Artinya, pada bulan Desember inilah Haul Gus Dur digelar. Tahun ini, 2019, merupakan haul ke-10. Di sejumlah tempat telah dilaksanakan kegiatan Haul Gus Dur, termasuk di Pesantren Tebuireng Jombang dan di PBNU Jakarta.
Seorang sahabat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di antaranya, adalah KH Ahmad Mustofa Bisri. Gus Mus, panggilan akrab Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibiin, Rembang ini mempunya kesan indah tentang Gus Dur.
Khususnya, saat-saat kedua tokoh ini menikmati masa-masa kuliah di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Untuk itu, ngopibareng.id menyajikan testimoni Gus Mus tentang Gus Dur. Singkat memang, tapi tak kehilangan keindahannya:
Sosok di sebelahku (lihat foto di bawah, Red) ini sejak pertama kali aku mengenalnya (di Kairo Mesir, tahun 1964), sudah menarik hatiku. Sebelumnya, melihat wajahnya saja belum pernah. Pada waktu aku ke rumahnya di Jakarta dan bertemu ibundanya, sama sekali tak ada diceritakan tentang dirinya dan keberadaannya di Mesir.
Tapi begitu berjumpa, sikapnya seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama. Tak ada basa-basi lazimnya orang baru bertemu dan berkenalan. Justru aku yang canggung dengan sikapnya yang tidak umum itu.
Dan sudah sejak pertemuan ('tanpa perkenalan') itu, dia memanggilku "Mus" dan aku memanggilnya "Mas". (Baru ketika pulang di tanah air, ketika orang-orang memanggilnya "Gus", dia pun memanggilku "Gus", meski aku tetap memanggilnya "Mas").
Alhamdulillah, di rumah aku punya kakak (Almarhum KH. Cholil Bisri) yang seperti sahabat karib dan di perantauan, Allah menganugerahiku sahabat karib yang seperti saudara ini.
Di dekatnya, aku selalu merasa kecil. Mungkin karena, aku selalu memperhatikan pikiran-pikirannya yang besar. Sering apa yang kupikir besar, dia bisa menjelaskan bahwa itu hanya perkara sepele; meski dia tidak selalu menjelaskannya.
Sementara aku masih sibuk memikirkan kuliah dan persiapanku menghadapi ujian, dia sudah memikirkan Indonesia dan bagaimana bisa mempersiapkan khidmah yang optimal bagi negeri yang dicintainya itu. Ketika aku baru memikirkan bagaimana setelah pulang nanti aku membangun rumah tangga, dia sudah memikirkan bagaimana membangun peradaban dunia.
Baginya dunia ini --termasuk kekuasaan-- hanyalah main-main dan senda gurau belaka, seperti difirmankan olehTuhannya sendiri. (Q. 6: 32, Q. 47: 46, Q. 57: 20). Baginya, yang terbesar dan terpenting ialah Allah, kemudian hamba-hambaNya.
Karena itu ungkapannya "Begitu saja kok repot..." , bagiku, bukan ungkapan m a j a z atau k i n a y a h belaka.
"Ya Allah, rahmatilah saudaraku, Abdurrahman Wahid, dan juga saudaraku KH. Cholil Bisri, sebagaimana Engkau merahmati kekasih-kekasihMu. Al-Fãtihah," tutur Gus Mus, mengakhiri.