Gus Ipul-Khofifah: Teladan Budaya Politik Kekinian?
Di DetikJatim Award, dua Menteri Sosial RI bertemu. Mereka adalah Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa. Gus Ipul –demikian Saifullah Yusuf biasa dipanggil– Mensos sekarang, sedang Khofifah Mensos dua periode sebelumnya.
Gus Ipul dan Khofifah dikenal sebagai politisi santri. Keduanya pernah bersaing habis-habisan dalam Pilkada Jatim tiga kali. Sekali lagi, berkompetisi sebanyak tiga kali. Memperebutkan jabatan tertinggi di Jatim.
Keduanya sama-sama tokoh NU. Gus Ipul di waktu muda menjadi Ketua Umum PP GP Ansor dan kini Sekjen PBNU. Sedangkan Khofifah sudah sejak lama menjadi Ketum PP Muslimat, organisasi otonom NU para ibu-ibu santri.
Saya menjadi saksi dekat ketika mereka berdua berkompetisi di arena politik. Sebab, selain sebagai sahabat Gus Ipul sejak mahasiswa, saya juga menjadi tim sukses dalam setiap pertarungannya. Ketika ia jadi menteri, masih juga menyapa setiap kunjungan ke Surabaya.
Minggu malam kemarin, misalnya, ia tiba-tiba mengajak saya untuk ikut menghadiri Detik Jatim Award di Gedung Dyandra. Dia dan Khofifah menjadi tokoh yang mendapatkan penghargaan dari media milik konglomerat santri Chairul Tanjung ini.
Inilah acara ceremonial besar di Jatim yang pertama saya ikuti setelah meninggalkan hiruk pikuk panggung politik. Bertemu dengan banyak kawan, para tokoh Jatim, saat ini. Juga komunitas media yang dulu juga pernah saya gelutinya. Tapi bukan itu yang Istimewa.
Relasi Gus Ipul dan Khofifah itu yang perlu menjadi teladan budaya politik sekarang. Di arena tersebut, kedua pemimpin yang pernah berkompetisi dengan sengit itu tampak saling menghormati dan mendukung secara terbuka.
Sepertinya tak ada beban sejarah permusuhan antara keduanya. Tidak ada tampak kebencian personal meski bertarung dan berkompetisi dalam arena politik berkali-kali. ‘’Penghargaan ini saya persembahkan kepada Bu Khofifah,’’ kata Gus Ipul saat foto bersama usai acara selesai.
Tak hanya itu. Setelah pertarungan Pilgub Jatim yang memenangkan Khofifah, Ketum PP Muslimat tersebut ikut turun tangan membantu kemenangan Gus Ipul dalam Pilwali Kota Pasuruan. Kini, Gus Ipul juga mengerahkah relawannya untuk ikut memenangkan Khofifah.
Saya melihat ada kematangan politik di antara mereka. Juga secara umum terlihat di Pemerintah Provinsi Jatim. Ada ‘’penghormatan’’ khusus terhadap para pemimpin pendahulunya, meski untuk menduduki puncak kepemimpinan daerah itu mereka saling berkompetisi sengit melalui pemilu.
Ini berbeda dengan di Pemerintahan Kota Surabaya. Sampai sekarang belum ada tradisi atau budaya yang sama seperti di Pemprov Jatim. Selalu ada keterputusan antar kepala daerah dengan penggantinya sejak reformasi politik atau pemilu kepala daerah secara langsung.
Relasi antara Walikota Bambang DH dan penggantinya Tri Rismaharini seperti berbanding terbalik dengan relasi Gus Ipul dan Khofifah –termasuk juga dengan Gubernur Sukarwo. Seperti ada batas personal yang tidak bersambung antar pergantian kepemimpinan. Padahal, di Pemkot Surabaya bersumber dari partai yang sama.
Apakah hal tersebut hanya karena karakter personal masing-masing pemimpin politik atau soal budaya yang terlembagakan? Ataukah memang kita masih perlu untuk memberikan ruang diskursus kebudayaan politik dalam level daerah? Rasanya menarik untuk menjadi bahan riset ilmiah.
Jika masalahnya soal kematangan berpolitik, tampaknya partai politik sebagai produsen pemimpin politik perlu melakukan sesuatu. Bagaimana selain menciptakan kader loyal yang petarung, mereka juga membangun nilai-nilai kematangan politik demi kepentingan yang lebih besar.
Budaya politik adalah menyangkut nilai-nilai luhur yang diyakini sebagai dasar dalam membangun masyarakat politik. Sedangkan siasat politik hanyalah sebagai jalan menuju perebutan kekuasaan yang menjadi tujuan dari adanya partai politik.
Nilai-nilai dalam berkompetisi, nilai dalam membangun relasi sosial dalam bermasyarakat, dan nilai kepemimpinan seharusnya menjadi kerangka besar bagi para politisi. Nilai menjadi tapak dalam berkompetisi, sedangkan kompetisi adalah cara menggapai tujuan politik.
Ketika perang ideologi menyatu dengan pengelompokan politik, kematangan politik justru ditunjukkan oleh para tokoh politik di masa lalu. Banyak kisah politisi masa lalu bertarung keras di arena politik, tapi tetap menjadi kawan yang menyenangkan dalam relasi sosial dan kehidupan kesehariannya.
Jika Bung Karno pernah menyatakan jangan sekali-sekali melupakan sejarah, itu bukan berarti pemimpin harus memelihara dendam pribadi dan permusuhan. Tapi lebih belajarlah pada sejarah masa lalu agar kesalahan serupa tak akan terjadi di masa depan.
Sungguh akan menjadi asyik jika kompetisi dalam pemilu selesai setelah coblosan selesai. Selebihnya adalah konsolidasi bersama untuk kemajuan masyarakat banyak. Jika itu terjadi, demokratisasi politik kita akan langsung naik level seperti halnya Timnas Sepakbola kita sekarang.
Saya percaya dalam pertarungan politik modern yang diperlukan adalah tampilnya sosok kepemimpinan, bukan politisi semata. Kepemimpinan hanya berkompetisi saat memperebutkan kekuasaan. Sedangkan agenda politik adalah ajang melahirkan para pemimpin yang matang.
Pemilu seharusnya melahirkan kepemimpinan bukan sekadar politisi semata. Kepemimpinan mewujudkan keteladanan, sedangkan politisi membangun kompetisi dalam lima tahun sekali. Kira-kira Anda akan pilih yang mana?