Gus Ipul, Bu Khofifah, dan sejenisnya
Oleh: Amin Said Husni
Hingga hari ini masih sering dipertanyakan, “Katanya NU tidak berpolitik praktis, lah itu Gus Ipul Sekjen PBNU tetap jadi Walikota, Bu Khofifah Ketua PBNU tetap jadi Gubernur, Gus Nusron Waketum tetap jadi pengurus Golkar? Kan gak konsisten itu.”
Ya, telah dimaklumi, orang-orang seperti Gus Ipul, Gus Nusron, Bu Khofifah memang banyak yang masuk di jajaran PBNU di bawah kepemimpinan Rais Aam Kiyai Miftahul Akhyar dan Ketua Umum Kiyai Yahya Cholil Staquf. Saya sendiri masih tercatat sebagai Wakil Ketua DPW PKB Jawa Timur.
“Orang-orang partai” dari berbagai warna itu memang sengaja direkrut untuk masuk di jajaran PBNU masa khidmat 2022-2027 ini. Mereka ada di semua unsur di PBNU, ada di Mustasyar ada Kiyai Ma’ruf Amin (PKB), di A’wan Syuriyah ada Gus Taj Yasin (PPP), di Tanfidziyah selaih Gus Ipul dan Ibu Khofifah, ada H. Mardani dan Nasyrul Falah (PDIP), Choirul Saleh (PPP).
Menjelang pengumuman susunan pengurus PBNU sebulan yang lalu, Gus Yahya pernah ditanya wartawan, kader PKB siapa yang masuk PBNU, Gus? “Saya,” jawabnya dengan mantap.
Pertanyaannya, kenapa PBNU merasa perlu mengakomodasi segala macam warna orang-orang partai itu? Ada maksud apa di balik kebijakan itu? Manfaat apa yang diharapkan?
Menjawab pertanyaan berbagai media tentang hal ini, Ketua Umum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf menjelaskan, "Justru dengan memasukkan orang-orang seperti Pak Nusron yang Golkar, Pak Mardani dan Falah dari PDIP, juga ada dari PKB dan sebagainya, mereka akan saling kontrol.”
Ide dasarnya adalah bahwa NU adalah rumah besar bagi semua. NU harus senantiasa menebarkan manfaat bagi semua. Gus Yahya menyebutnya dengan “khidmah inklusif”.
NU tidak harus steril dari “orang-orang politik”. Sebab, kata Gus Yahya lagi, “kalau pun kita bersihkan dari politisi sama sekali, tetap saja kepentingan politik akan berusaha masuk.”
Yang penting NU secara kelembagaan tidak terkoptasi oleh suatu partai politik. Dengan masuknya Gus Ipul, Ibu Khofifah, Gus Nusron dan sejenisnya, warga NU malah diuntungkan. Karena semakin banyak akses yang akan terbuka lebar-lebar untuk mengagregasi berbagai kepentingan warga Nahdliyin.
Bahkan lebih dari itu, NU bisa menjadi semacam ‘clearing house’, tempat bertemunya berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Lalu NU berperan mencarikan titik temunya, dan kemudian mengajak semuanya untuk bergerak bersama-sama, memperjuangkan kepentingan bersama yang lebih besar.
Indah sekali, bukan? (salam: Amin Said Husni)
*Penulis adalah Ketua PBNU
Advertisement