Gus Dur tak Berjubah, Catatan Mengejutkan Kiai Husein Muhammad
Selama beberapa tahun aku bolak balik nginap di rumah KH Abdurrahman Wahidn (Gus Dur) aku jarang sekali melihat Gus Dur memakai sarung, seperti kiyai pada umumnya yang kemana-mana pakai sarung, padahal beliau adalah kiai besar putra kiai besar dan cucu guru para ulama di Tanah Air. Hanya sekali aku melihat foto Gus Dur yang mengenakan sarung kotak-kotak, baju koko warna putih dan berpeci hitam. Bahkan saat di rumah Sayyid Muhammad Alawi, ulama besar ahli hadits di Makkah beliau pakai baju biasa lengan pendek dan peci haji.
Aku dulu, ketika masih mondok di pesantren, menganggap sarung adalah pakaian Islam, seperti pakai jubah putih yang dianggap sebagian orang sebagai pakaian Islami. Sedangkan celana panjangnya merupakan pakaian Londo alias orang asing non Islam. Tak sah rasanya jika shalat atau menghadiri akad nikah atau hajat ritual keagamaan yang lain, tidak pakai sarung. Jika aku masuk masjid untuk shalat dengan tidak pakai sarung bersama orang lain yang memakainya, maka aku dianggap kurang pantas menjadi Imam shalat. Tidak afdol, katanya.
Budaya kita acap melihat “sarung” sebagai tanda kesalehan seseorang. Atau paling tidak, lebih saleh dari orang yang memakai celana panjang. Mungkin saja, ini akibat negeri ini pernah dijajah Belanda untuk waktu berabad. Para penjajah selalu memakai celana dan dasi. Maka celana cenderung memiliki makna identitas penjajah. Konon, pernah ada fatwa haram memakai celana, karena alasan tersebut. Gus Dur, tentu juga paling paham soal budaya ini.
Kisah dari Tebuireng Jombang
Aku memperoleh cerita dari murid-muridnya ketika di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Manakala Gus Dur mengajar di kelas, ia mengenakan celana panjang, dan tidak pernah sekalipun memakai sarung seperti kebanyakan guru yang lain. Dan yang amat menarik dari itu, aku belum pernah sekalipun melihat Gus Dur mengenakan pakaian khas Arab : semacam Gamis atau "Tob" atau Jubah.
Beliau juga tak pernah aku lihat memakai sorban dengan gulungan besar maupun kecil berwarna putih maupun hijau. Hanya sekali Gus Dur dipakaikan sorban di kepalanya. Entah di rumah siapa. Konon itu atas permintaan tuan rumah. Gus menghormatinya. Gus Dur juga sering tak memakai peci putih khas orang Indonesia usai Haji atau yang sering disebut peci haji. Di dinding rumahnya aku tak melihat foto Gus Dur dengan performans orang Arab.
Aku sungguh tak mengerti pikiran beliau. Gus Dur tak seperti umumnya para ulama atau habaib. Gus Dur seperti ayahnya, K.H. Abdul Wahid Hasyim yang senang mengenakan celana pantalon, baju putih dan berdasi, kadang pakai peci kadang tidak. Kiai Wahid tampak ganteng dan perlente.
(04.06.22/HM)