Gus Dur Dapat Keris dan Pulung, Pak Harto Husnul Khatimah
Acara diskusi buku "Perjalanan Intelijen Santri" karya KH As'ad Said Ali digelar di Jombang. Dibahas, antara lain, Prof. H. Kacung Marijan, Drs. MA, Ph.D. guru besar Universitas Airlangga, Yon Mahmudi, Ph.D., ketua program studi kajian wilayah Timur Tengah dan Islam, Dr. Muh. Ainur Rofiq Al - Amin, dosen Fakultas ushuluddin UINSA, KH. Zaimuddin Asad serta KH. Rohmatul Akbar, pengasuh PP Darul Ulum.
Berikut catatan Ainur Rofiq Al Amin, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya berjudul "Syaikh Yasin Al-Fadani tentang Pak Harto, Gus Dur tentang Keris serta Pulung":
Kamis sore, 9 Juni 2022 dihelat bedah buku "Perjalanan Intelijen Santri" karya KH As'ad Said Ali di Universitas Islam Pesantren Darul Ulum (UNIPDU) Jombang. Buku cetakan November 2021 yang tebalnya 559 ini enak dibaca dan banyak informasi menarik dari pengalaman sang penulis yang, menurut Prof Kacung Marijan, bagus bila difilmkan.
Buku ini menjelaskan, intelijen kita diakui asing akan keunggulannya (pernah menangkap agen KGB) karena faktor budaya yang kita miliki.
Sayangnya, banyak yang malah melupakan budaya, atau bahkan memusuhinya.
Dalam buku ini juga disinggung tentang Syaikh Yasin Al Fadani (1915-1990) dan Habib Hamid bin Alwi Al-kaf (1927-2015) yang pernah diminta saran oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz (1921-2005) soal "hukuman" terhadap Syaikh (Sayyid) Alawi al Maliki (1944-2004). Beliau berdua menyarankan kepada Raja Fahd agar hukumannya diringankan.
Pada halaman lain (15-16) dikisahkan, Syaikh Yasin ulama besar yang keramat ini pernah diundang Presiden Soeharto (Pak Harto) ke Jakarta pada tahun 1987 (entah apakah tahunnya bersamaan dengan saat Pak Harto minta suwuk seperti kisah di bawah ini:
Setelah dari Indonesia, Syaikh Yasin kembali ke Makkah.Tidak lama setelah itu, dubes untuk Arab Saudi, Letjen (purn) Aang Kunaifi berpesan kepada sang intelijen santri ini (KH As'ad Said) agar menemui Syaikh Yasin dan bertanya tentang kesannya terhadap Pak Harto.
Kisah-kisah Sang Intelijen
Lalu pada suatu malam, KH As'ad Said sowan ke rumah Syaikh Yasin.
Setelah diajak makan malam, Syaikh Yasin berkata bahwa Pak Harto telah membangun 999 masjid di Indonesia dan memberi beasiswa bagi anak-anak kurang mampu, insya Allah khusnul khatimah.
Ucapan Syaikh Yasin tentang husnul khatimah ini bisa dilihat dari dua perspektif; husnul khatimah saat meninggal, dan "husnul khatimah" terkait akhir kepemimpinan.
Husnul khatimah saat meninggal kita serahkan kepada Allah. Saya fokus melihat "husnul khatimah" terkait akhir kepemimpinan. Ucapan Syaikh Yasin bisa dimaknai bilamana sesegera setelah itu, Pak Harto tidak mencalonkan lagi, maka beliau akan husnul khatimah dalam memimpin.
Artinya, bila pada tahun 1987/1988 Pak Harto tidak maju lagi sebagai presiden, beliau akan dikenang sebagai pemimpin yang bijak karena
berhasil membawa Indonesia sebagai macam Asia, sekalipun di sisi lain tetap saja ada riak-riak dan persepsi negatif atas beberapa dimensi
kepemimpinannya.
Asumsi "husnul khatimah" saya di atas ternyata sejalan dengan kisah pada halaman 474-475 yang tertulis bahwa menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 1988, keresahan kedua jenderal intelijen (Yoga
Soegama dan Ali Murtopo) mempunyai alasan yang kuat. Salah satunya adalah masa kepresidenan Pak Harto telah mencapai usia 21 tahun.
Menurut istilah Yoga, sekiranya pada tahun 1988 Pak Harto tidak mencalonkan lagi, maka nama Soeharto akan ditulis dengan tinta emas sebagai presiden yang paling berhasil dan turun secara damai. Setelah lengser, Pak Harto baru sadar, saran dari kedua pembantu dekat yang setia itu.
Gus Dur dan Keris
Beralih ke kisah Gus Dur. Pada suatu waktu terjadi pertemuan bertiga antara Menhan Jendral Beny Moerdani, Kepala BAIS Syamsir Siregar dan KH Abdurrahman Wahid. Pertemuannya terjadi di restoran Noppon Kan, Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan). Saat itu, Pak Syamsir menanyakan apa benar Gus Dur mau menjadi presiden. Pertanyaan Samsir tersebut merupakan pesanan Beny Moerdani. Jenderal Beny ingin menkonfirmasi karena
sebelumnya juga pernah ditanyakan kepada Gus Dur oleh beliau sendiri.
Gus Dur menjawab pertanyaan itu dengan jawaban mistik: “Memang benar begitu: saya pun telah mendapat isyarah dengan memperoleh sebuah keris dari Bali, dan keris yang dimaksud itu sudah di tangan saya."
Nah, saat reformasi dan Presiden Habibie turun, ucapan Gus Dur di atas disampaikan lagi. KH As'ad Said Ali menjelaskan, hingga bulan-bulan
terakhir hiruk-pikuk reformasi itu, kalangan nahdliyin sesungguhnya tidak pernah bermimpi Gus Dur akan menjadi Presiden ke-4 Republik
Indonesia. Ide itu mungkin muncul spontan dari Gus Dur sendiri dalam senda guraunya, yang memang biasa demikian.
Namun saat menjelang pemilihan presiden, 11 tokoh bertemu di lantai 40 sebuah hotel di Jakarta. Mereka menanyakan kepada Gus Dur, apakah serius hendak maju dalam pemilihan presiden. Gus Dur menjawab dengan terkekeh:
“La wong pulungnya sudah jatuh ke saya”.
Karuan saja peserta pertemua itu sontak ikut tertawa. Pulung adalah tanda mistik berupa cahaya berbentuk bulat yang jatuh dari langit, yang, dalam pandangan orang Jawa, adalah tanda berpindahnya kekuasaan kepada seseorang tersebut.
Ucapan Gus Dur ini benar terjadi dan beliau menjadi presiden setelah mengalahkan Megawati, dimana 700 anggota MPR sebanyak 313 memilih Megawati dan 373 memilih Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999 Gus Dur dilantik MPR menjadi Presiden.
Kata penulis buku ini (Kiai As'ad), Gus Dur sambil guyon pernah berkata, "Aku dadi presiden ora modal".
Pada 23 Juli 2001 Gus lengser. Gus Dur menjadi presiden 21 bulan sedikit lebih lama dari Pak Habibie yang hanya 15 bulan. Namun dua presiden ini berhasil meletakkan pondasi demokratis yang luar biasa dan berhasil
membawa Indonesia melewati masa transisinya menuju negara demokratis.
Demikian catatan Ainur Rofiq Al Amin, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel dan salah seorang ustadz Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
Advertisement