Gus Dur dan Romo Mangun, Ini Kesan Profesor King Fahd University
Eksistensi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Romo Mangunwijaya dalam hal menulis, tetap dikenang banyak orang hingga kini. Juga sejumlah penulis lain yang lain mendapat tempat di hati Prof Sumanto Al Qurtuby.
Guru Besar Antropologi di King Fahd Petroleum University, Arab Saudi, akademisi asli Batang, Jawa Tengah. Ia lulusan Boston University Amerika Serikat. Sumanto Al Qurtuby menulis kenangan menulis yang terinspirasi sejumlah penulis beken tersebut. Selain tentang Gus Dur, Romo Mangun, juga tentang Kuntowijoyo, Komarudin Hidayat, dan Ulil Abshar Abdalla.
Sumanto Al Qurtuby berkisah tentang "Menulis & Para Penulis Kolom yang Saya Suka", berikut ini:
Banyak orang bisa menulis artikel / kolom media tetapi tidak banyak yang bisa menulis dengan baik. Yang saya maksud "menulis dengan baik" adalah menulis dengan gaya bahasa yang lugas, kalimat yang jelas, alur tulisan yang runtut, argumen yang argumentatif, alasan yang reasonable, dan gampang dipahami oleh pembaca (publik) yang beragam.
Kebanyakan para penulis itu menggunakan gaya bahasa yang njlimet, kalimat yang ambyar, alur tulisan yang mbulet kayak kentut astronot, argumen yang bertele-tele, alasan yang muter-muter, dan karena itu susah dipahami oleh pembaca (publik) yang warna-warni. Padahal tantangan terbesar bagi penulis adalah "bagaimana orang lain paham apa yang ia tulis" sehingga pesan-pesan yang disampaikan lewat tulisan bisa tepat sasaran.
Menulis yang baik itu tidak mudah. Sampai sekarang saya masih terus belajar menulis. Pertama kali saya belajar menulis kolom media saat kuliah S1 di IAIN (kini UIN) Walisongo, Semarang, pada tahun 1990an. Karena ingin belajar menulis, saya dulu memilih aktif di Majalah Justisia, Fakultas Syari'ah, dan sempat menjadi Pemimpin Redaksi selama beberapa periode.
Kala itu, keinginan kuat saya ingin menulis kolom di media massa (koran), baik lokal maupun nasional, karena satu hal: supaya dapat honorarium untuk "menyambung hidup" karena memang biaya hidup sangat pas-pasan dan kondisi keuangan sangat mengkhawatirkan sekali.
Dulu saya jungkir-balik latihan menulis dengan tangan di atas sisa-sisa kertas kosong karena nggak punya komputer. Kalau sudah jadi, tulisan itu saya bawa ke "tukang ketik" rental di pinggiran kampus. Kalau sudah diketik & diprint baru dibawa ke kantor pos untuk dikirim ke kantor koran (Suara Merdeka, Wawasan, Kompas, Rindang, dlsb). Sambil menunggu dag-dig-dug dimuat dan tidaknya tulisan, saya terus menulis lagi dan lagi.
Selain terus latihan menulis kolom, saya juga sering mengikuti workshop mahasiswa tentang penulisan kolom di media untuk menambah wawasan dan pengalaman.
***
Hal lain yang saya lakukan adalah mengkliping kolom-kolom para penulis andal yang saya pungut dari koran-koran bekas. Waktu itu ada beberapa penulis kolom yang saya suka karena saya pandang memenuhi kriteria sebagai "penulis yang baik" tadi yang tulisan-tulisannya sangat lugas, jelas, runtut, argumentatif, reasonable, dan mudah dipahami.
Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid (almarhum Gus Dur), almarhum Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun), almarhum Pak Kuntowijoyo (sejarawan UGM), Pak Komaruddin Hidayat, dan Mas Ulil Abshar Abdalla. Menurutku, dengan gaya dan ciri khasnya masing-masing, mereka adalah para penulis kolom yang prolifik, ciamik, hebat, dan berkelas.
Gus Dur adalah sosok santri-intelektual yang bisa menulis tema apa saja - tentang demit dan manusia - dengan gaya tulisan yang renyah, gaul, lucu, gurih, dan "merakyat" sehingga gampang dipahami dan dicerna oleh siapa saja, baik makhluk di dunia maupun di alam akhirat.
Romo Mangun adalah sosok tokoh agama-penulis yang berkarakter kritis dan "tas-tes" tanpa basa-basi terhadap fenomena sosial-politik di masyarakat yang ia lihat dan amati. Menulis kritis di zaman Orba bukan perkara mudah. Tetapi Romo Mangun sanggup melakukannya.
Pak Kuntowijoyo adalah sejarawan yang "ngantro" yang tulisan-tulisan dan refleksinya tentang fenomena sosial, kebudayaan, dan kesejarahan sangat gampang dimengerti. Ia mampu menguraikan aspek-aspek kesejarahan yang njlimet dan membosankan menjadi tampak gampang dan menggairahkan.
Pak Komarudin Hidayat adalah sosok "filsuf yang membumi". Kebanyakan tulisan para filsuf itu "melangit", muter-muter kayak baling-baling Hercules yang susah dicerna. Tetapi Pak Komar tidak. Ia mampu menyajikan tema-tema filosofis yang pelik ke dalam tulisan-tulisan yang lugas, enak dibaca, dan gampang dicerna.
Mas Ulil Abshar-Abdalla adalah sosok santri-cendekiawan yang keren dan beken yang sejak masa nak-anak & remaja sudah menunjukkan "ciri-ciri kewalian" dan bakat penulis yang bertalenta dan bertenaga. Dulu, di saat anak-anak seusianya baru belajar "ngupil & ngelap umbel", ia sudah membaca banyak bacaan. Dan pada waktu teman-teman seusianya baru tertatih-tatih belajar menulis, ia sudah melanglang buana bak manuk Garuda lantaran menjadi penulis terkemuka.
Semoga kelak mereka semua mendapat jatah bidadari, anggur, & nasi rendang di syurgah karena jasa tulisan-tulisan cemerlang mereka yang mampu mencerahkan banyak umat manusia, selain spesies homo monastikus jelmaan fosil purba.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia.
Sumber: akun facebook Sumanto Al Qurtuby.
Advertisement