Gus Dur dan Pramoedya Ananta Toer, Sahabat dalam Perbedaan
KH Abdurrahman (Gus Dur) dalam Haul ke-10 tahun ini, 2019, dikaitkan dengan perannya dalam kebudayaan. Gus Dur adalah tokoh Nahdlatul Ulama, mempunyai hubungan yang unik dengan semua orang, termasuk yang berideologi berbeda dengannya.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, di anaranya, cukup akrab dengan pribadi Gus Dur. Meskipun di masa lalu, Pram yang penulis tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca ini, ternyata sangat akrab dengan Gus Dur.
Suatu liputan media, memberi kesaksian bagi keakraban Gus Dur dan Pram, sahabat dalam perbedaan.
Rabu, 27 Oktober 1999, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengundang sastrawan beken, Pramoedya Ananta Toer, untuk datang ke Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta.
Seusai bertemu Gus Dur, Pram langsung meninggalkan istana. Beberapa hari kemudian, ketika ditemui di tempat tinggalnya di Jakarta, Pram antara lain mengatakan, pembicaraan dengan Gus Dur berkisar tentang masalah kelautan di Indonesia.
"Presiden banyak tanya soal pendapat saya tentang laut dan perikanan. Dalam kabinet yang dibentuk beliau ada Departemen Kelautan dan Perikanan. Mungkin dalam sejarah pemerintahan di Indonesia baru kali ini ada departemen yang khusus mengurus laut dan ikan," kata Pram, yang saat itu memberi Gus Dur buku karyanya, Kretek.
Menurut Pram, sebagaimana ditulis J Osdar, wartawan senior Kompas, saat itu Gus Dur tertarik dengan tulisannya yang bicara mengenai laut. "Saya menulis yang berkaitan dengan laut dalam novel Gadis Pantai yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Girl from the Coast," ujar Pram.
Beberapa hari setelah bertemu Gus Dur, Pram mengatakan ketertarikan orang luar negeri termasuk para wisatawan terhadap Indonesia, terutama pada lautnya.
Apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur serta Pram kini dilanjutkan Presiden Joko Widodo yang punya gagasan tentang laut dan pariwisata untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1925. Saat kecil hingga remaja, Pram tinggal di rumah orangtuanya di Jalan Sumbawa Nomor 40 Blora. Pram meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Karya tulis Pram, terutama novel dan cerpen, telah diterjemahkan ke 45 bahasa.
Wakil Bupati Blora saat ini, Arief Rohman, salah satu tokoh muda Nahdlatul Ulama yang berperawakan besar, punya gagasan untuk menjadikan tempat tinggal Pram pada masa kecil sampai remaja sebagai salah satu daya tarik wisata Blora.
Pram, kata Arief, bisa jadi daya tarik wisatawan asing ke Blora. "Saya akan mengusulkan Jalan Sumbawa di Blora diubah menjadi Jalan Pramoedya Ananta Toer," ujarnya, dua pekan lalu di Blora.
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Hilmar Farid setuju dan mendukung gagasan Arief Rohman mengadakan acara rutin berkaitan dengan Pramoedya Ananta Toer. "Sosok dan karya Pram banyak memengaruhi hidup saya," kata Hilmar, dua pekan lalu.
Dalam artikelnya berjudul "Sastra: Deklarasi Pram" di Kompas (11 Juni 2006), sastrawan Putu Wijaya, antara lain, mengatakan, dalam perhelatan mengenang 40 hari meninggalnya Pram di Bentara Budaya Jakarta (6 Juni 2006), budayawan Taufik Rahzen membenarkan, Pram bukan hanya seorang pengarang. Namun, ia sudah jadi "ikon" dan "alamat" Indonesia bagi orang dari mancanegara jika bicara tentang Indonesia.
Menurut Gus Dur, filosofi tentang laut yang dikemukakan Pram cukup menarik. "Dalam novel Pram, saya menemukan kutipan semacam ini, _laut tetap kaya tak kan kurang, cuma hati manusia semakin dangkal dan miskin,"_ kata Gus Dur.
"Ke depan Pemkab Blora pun merencanakan akan menggandeng berbagai pihak untuk menyelenggarakan event rutin untuk mengenang Pram. Museum Pram pun digagas untuk didirikan di rumah kelahirannya yang kini menjadi Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa)," kata J Osdar, seperti dilansir infoblora.com.
Demikian keakraban Gus Dur, tokoh Islam yang humanis, dan Pramoedya Ananta Toer, yang penganut Realisme Sosialis dalam bersastra.