Gus Dur dan Ketertarikan Sastra, Ternyata Begini Dahsyatnya
Nama Gus Dur atau Abdurrahman Wahid tak sekalipun muncul dalam deretan sastrawan Indonesia, sebagaimana karibnya, Gus Mus atau Musthafa Bisri, atau Ahmad Tohari.
"Menurut saya, ini mungkin hanya soal waktu belaka atau pilihan apa yang paling mendesak bagi Gus Dur untuk segera diselesaikan. Hasratnya untuk menulis novel terus terpendam dalam palung hatinya," tutur KH Husein Muhammad, sahabat Gus Dur.
Sementara itu, Gus Mus bilang : "Allahu yarham Gus Dur punya novel bagus sekali tentang kehidupan Kiai dan dunia pesantren. Sudah pernah diceritakan secara lisan kepadaku ketika di Mesir. Dari waktu ke waktu aku berusaha mendorongnya untuk mewujudkannya dalam tulisan. Namun ternyata usahaku kalah dengan kesibukan-kesibukan keummatannya yang berdesak-desak berlomba minta perhatiannya. Lahul Fatihah."
Greg Barton, penulis Biografi Gus Dur, menginformasikan kepada kita pikiran Gus Dur yang memukau dan dekonstruktif. Ia tak hendak terbelenggu dalam terma baku sastra formalistik yang acap kali kering kerontang dari ruh transenden.
Kata Greg Barton “Dia mencintai sepupunya. Kegalauan gadis Alissa terombang-ambing oleh rasa cinta, rasa takut dan rasa bimbang yang akhirnya justeru menghaluskan perasaannya. Membawa diri kepada kesadaran bahwa di balik semua itu, yang mengacaukan, membingungkan dan menggalaukan, tampak yang abadi. Yaitu Tuhan. Karena itulah hanya orang-orang yang mendapati kebesaran Tuhan dalam konteks ini, maka bagi merekalah jalan untuk membuka gerbang yang tertutup ini menjadi sangat luas".
"Sedemikian besar pengaruh ketokohan dan sosok Alissa dalam diri saya, sehingga nama itu saya berikan untuk putri pertama saya. Dari sini kita dapat memahami seni dan budaya berfungsi agar hidup kita tidak terlalu serba pasti dan tidak serba benar”.
Advertisement