Gus Dur dan Natal, Kedamaian Hari Lahir Nabi Isa Putra Maryam
KH Adurrahman Wahid dikenal sangat mengedepankan tolerasi dalam kehidupan bermasyarakat. Gus Dur pun dirindukan kehadirannya ketika negeri ini penuh dengan gemuruh intoleransi dalam masyarakat.
KH Husein Muhammad, penulis buku Gus Dur Sang Zahid, menulis renungan sebagai aspirasi Islam atas kehadiran Gus Dur terkait dengan peringatan Hari Natal. Berikut kutipannya:
Meski aku ingin menyudahi nulis soal Natal ini. Tetapi ternyata masih ada santri yang bertanya bagaimana pandangan Gus Dur tentang Natal ini. Ini juga sudah aku tulis tahun lalu.
Gus Dur punya pendapat yang sama dengan para ulama di atas sekaligus juga menarik. Dalam tulisannya berjudul “Harlah, Natal dan Maulid yang ditulisnya di Yerussalem, 20 Desember 2003 Gus Dur antara lain mengatakan : “Natal, dalam kitab suci Al-Quran disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa.
Seperti terkutip: "Kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada Beliau atau kepada Nabi Daud”.
“Firman Allah dalam Al-Quran surat al-Maryam:
والسلام علي يوم ولدت
"Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku", jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu”.
“Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci Al-Quran, juga sebagai kata yang menunjukkan hari kelahiran Beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga.
Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda-beda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah Swt.
“Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannnya bersama-sama. Dalam literatur fikih, jika kita duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian”.
KH Husein Muhammad (25.12.19/25.12.2020)
Advertisement