Gus Dur, Bung Karno dan HB IX, Begini Asal Ide Ikonik Kristiani
"Pose ikonik di jagat kristiani, penggambaran mokswa-nya orang Suci. Tapi ini terasa Indonesia banget ketika posisi yang sama menyertai tokoh-tokoh dalam lukisan-lukisan itu -- Gusdur, Bung Karno, Hamengkubuwono IX. Sementara 3 lainnya juga ikutan berpose dengan posisi ikonik itu: Haji Suwarno Wisetrotomo, Kiai Haji Mustofa Bisri alias Gus Mus dan Hong Djien Oei."
Demikian Butet Kartaradjasa, kolektor lukisan karya Sigit Santosa, menjadi perhatian di jagat medsos, Minggu malam 7 Oktober 2018. Lantaran Butet menulis hal itu di akun facebook-nya, berjudul "Kristis Raja".
Ketika dihubungi ngopibareng.id, Butet menjelaskan soal keberadaan tiga lukisan tersebut. "Kebetulan lukisan-lukisan itu dipinjam untuk dipamerkan di Museum Oei Hong Djien, di Magelang, sejak awal Mei lalu," tutur pemain monolog asal Yogyakarta ini.
Menurut putra tokoh legendaris Bagong Kussudiardjo ini, lukisan tentang Gus Dur digarap Sigit Santosa 5 tahun lalu. Sedang Bung Karno 3 tahun lalu dan Hamengku Buwono IX sekitar 2 tahun lalu.
"Lukisan-lukisan itu sebenarnya ide kolaborasi dari saya bersama Sigit Santosa. Sedang pengerjaan akhirnya sebagai karya seni lukis sepenuhnya di tangan Sigit Santosa," tuturnya.
"Lukisan-lukisan itu sebenarnya ide kolaborasi dari saya bersama Sigit Santosa. Sedang pengerjaan akhirnya sebagai karya seni lukis sepenuhnya di tangan Sigit Santosa," kata Butet Kartaradjasa.
Terkait dengan foto Gus Mus bersama Oei Hong Djien dan Suwarno Wisetrotomo, ngopibareng.id, mendapat penjelasan begini:
"Saya bersama Gus Mus sengaja janjian untuk ketemu di Magelang, ke rumah dokter Oei Hong Djien. Sekitar pukul 13.00 kami ketemu dan makan siang. Agendanya, ya ngobrol kecil (bukan diskusi, ya) tapi memang ada rencana untuk mengadakan kegiatan kebudayaan awal tahun depan.
"Nah, selesai kami dari rumah dokter Oei Hong Djien kami diantara untuk mengunjungi Museum OHD yang kebetulan ada kegiatan pameran.
"Sebenarnya, kami banyak foto-foto bersama, baik ketika makan siang, ngobrol, maupun sudut-sudut lain di museum itu. Tapi, kebetulan di antara foto kami diunggah di facebook itulah, yang akhirnya diketahui publik.
Tidak ada maksud tertentu ketika kami pose di depan lukisan-lukisan itu. Hanya karena Gus Mus bersahabat dengan Gus Dur, yang (kebetulan ada di lukisan itu) kami foto bersama."
Demikian Penjelasan Suwarno Wisetrotomo, pengamat Seni Rupa yang juga dosen ISI Yogyakarta.
"Pameran bertajuk Celebrating Indonesian Portraiture ini dibuka oleh sastrawan Goenawan Mohamad di Magelang, sejak awal Mei lalu. Di antaranya, memamerkan karya Sigit Santosa dengan tiga lukisan tersebut."
Pameran Lukisan Potret
Untuk diketahui, Museum Oei Hong Djien (OHD) Magelang menggelar pameran seni rupa dengan memajang 86 kaya seni dari 67 seniman.
Pameran bertajuk Celebrating Indonesian Portraiture ini dibuka oleh sastrawan Goenawan Mohamad di Magelang, sejak awal Mei lalu. Di antaranya, memamerkan karya Sigit Santosa dengan tiga lukisan tersebut.
Pameran yang berlangsung hingga 8 Oktober 2018 menyajikan berbagai karya seni rupa, seperti patung manusia dari macam-macam era dan medium, yaitu perunggu, batu marmer, marmer cor/marble cast, fiberglass dan kayu, lukisan, sketsa dan drawing, karya keramik, grafis dan fotografi, instalasi, dan video.
"Sejak zaman kuno manusia ingin diabadikan image-nya dalam bentuk patung maupun gambar atau lukisan.
"Sebelum ditemukan alat potret oleh Jacques Louis Daguerre pada tahun 1839, hal ini hanya bisa dilakukan oleh tangan seniman dari model hidup untuk orang tertentu yang bisa membiayainya.
"Sejak ditemukan alat potret terjadi perubahan sangat besar dalam mengabadikan image manusia. Bahkan, sekarang setiap orang bisa mengabadikan diri dengan smartphone, yaitu perkembangan berlanjut jauh dari kamera Daguerre," kata Pemilik Museum OHD dr. Oei Hong Djien.
Ia mengatakan, seniman pun tidak harus melukis dari model hidup, tetapi bisa dari foto walaupun ada juga yang bisa dari ingatan. Peranan seniman membuat potret menurun drastis.
Pelukis modern Indonesia pertama yang mahir melukis potret adalah Raden Saleh. Setelah itu, lahir pelukis-pelukis potret ampuh, seperti Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Basoeki Abdullah, dan Dullah.
Sejak itu, katanya lagi, melukis dan mematung potret tidak pernah berhenti dan berkelanjutan serta dikembangkan oleh seniman generasi muda dengan memakai media alternatif.
"Karya potret pun tidak harus mirip secara fisik, tetapi yang dipentingkan adalah apa yang ingin diekspresikan oleh sang seniman tentang subjeknya, bahkan bisa menggunakan metafor," katanya.
Ia menuturkan, dunia pemotretan dengan alat potret berkembang pula dan lahir ahli-ahli potret yang memasukkan unsur-unsur seni dalam potretnya yang disebut seni potret atau art portraiture.
Pameran Celebrating Indonesian Porttraiture bukan mengenai art portraiture seperti dimaksud di atas. Melainkan art portraiture juga ikut diakomodasi, yaitu subject matter-nya mengenai manusia walaupun apa yang ada di sekitar manusia bisa mempunyai peran pula. (adi)
Advertisement