Gus Dur Bapak Kemanusiaan, Ini Kesaksian Gubernur Jatim
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, lebih dari sebutan yang muncul di masyarakat saat ini, KH Abdurrahman Wahid lebih suka disebut sebagai Bapak Kemanusiaan.
Memang selama ini, sebutan yang diarahkan pada diri Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, Bapak Toleransi. Demikian lebih banyak dilakukan kelompok Gusdurian dan masyarakat awam pada umumnya.
"Gus Dur lebih suka disebut sebagai Bapak Kemanusiaan, bukan pluralisme. Karena itu, beliau ingin batu nisannya ditulisi 'The Humanist Died Here' (Di sini berbaring seorang Humanis). Humanis itu diatas pluralisme, karena toleransi itu ada bila sisi kemanusiaan lebih dominan. Di AS, Gus Dur pernah bilang bahwa 'Di negeri saya, saya lindungi minoritas, maka negara Anda tolong lindungi minoritas'"
Gubernur perempuan pertama di Jawa Timur ini mengungkapkan pada Haul ke-11 Gus Dur digelar PW GP Ansor Jawa Timur. Khofifah hadir secara daring dari Jember, Rabu malam, 30 Desember 2020, didampingi Ketua PCNU Jember KH Abdullah Syamsul Arifin dan sejumlah ulama di kawasan timur provinsi ini.
Dipimpin langsung Ketua PW GP Ansor Jatim Syafiq Syauqi, memusatkan kegiatan mengenang Gus Dur di kantornya, kawasan Masjid Al-Akbar Surabaya.
Acara dengan tema "Membumikan Humanisme Gus Dur dalam Bingkai Keragaman Bangsa" ini juga dihadiri puluhan anggota organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Hadir sebagai pembicara Ahmad Dhohir Zuhri dari sekolah tinggi Filsafat di Jawa Timur.
Berikut penuturan Khofifah Indar Parawansa, yang diangkat Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan, 1999-2001:
Dua tahun sebelum wafat, beliau pesan, Mbak Khofifah, nanti kalau saya mati, tolong dibantu nisan saya ditulisi The Humanist Died Here.
Saya tentu saja kaget dan bertanya mengapa Gus Dur mengatakan tentang kematian dan permintaan tersebut. Gus Dur kok panjenengan dhawuh mekaten? (Gus Dur mengapa bilang begitu). Itu pesanku Mbak Khofifah.
Bahkan sekitar dua bulan sebelum Gus Dur wafat, permintaan tersebut diucapkan kembali. Saat itu saya bertemu Gus Dur bersama tujuh orang anggota Muslimat NU. Pesan yang sama. Sebuah tulisan The Humanist Died Here di batu nisan. Tak berhenti di situ. Menjelang tujuh wafat, Gus Dur mengulang pesan serupa. Lha kok pesan tiga kali itu ke saya.
Karena sudah tiga kali mendapatkan pesan yang sama, saya lantas menanyakan kepada para sahabat dekat Gus Dur. Namun semuanya menjawab tidak mendapatkan pesan seperti itu. Enggak berani saya bilang. Kok saya itu kayak mengada-ada.
Pada Haul ke-5 Gus Dur di Tebuireng, Jombang, saya berdiri di atas podium. Letaknya di samping maqbar Gus Dur. Akhirnya saya menyampaikan wasiat tersebut. Saya sampaikan bahwa ini, "Saya sudah berada di sebelah maqbarnya Gus Dur dan yang beliau pesan adalah The Humanist Died Here. Apa yang ingin saya sampaikan pada panjenengan semua, bahwa Gus Dur lebih senang disebut Bapak Humanis bukan Bapak Pluralis".
Pada saat itu hadir mewakili keluarga Gus Dur adalah putri Gus Dur, Inayah Wulandari. Saya lantas menyampaikan pada Mbak Ina tentang wasiat yang sudah sekian tahun terpendam dan baru lima tahun setelah Gus Dur wafat baru saya ungkapkan. Karena saya tanya kok nggak ada orang yang dipesani. Nanti dipikir saya mengada-ada.
Ternyata Mbak Inayah pun sempat memperoleh pesan yang sama. Akhirnya kita sepakat mewujudkan pesan Gus Dur. Kalau panjenengan ziarah maka ditulisi "Here Rest a Humanist". "Di sini Beristirahat Bapak Kemanusiaan". Jadi saya ingin sampaikan bahwa Gus Dur lebih senang disebut sebagai Bapak Kemanusiaan, bukan Bapak Pluralisme.
Tulisan di batu nisan Gus Dur: Here Rest a Humanist, menunjukkan bahwa cucu muassis NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari itu adalah seorang Pejuang Kemanusiaan. Atas nama kemanusiaan-lah Gus Dur menghargai keberagaman.
Karena sesungguhnya humanisme itu ada di atas pluralisme. Sebab, orang akan memberikan toleransi, memberikan perlindungan kepada sesama manusia termasuk kepada minoritas karena memiliki sisi kemanusiaan yang dominan. Jadi humanisme yang sekarang ini dijadikan topik diskusi pada Haul Gus Dur ke-11 itulah sebetulnya yang memang diinginkan oleh Gus Dur beliau lebih senang disebut sebagai bapak humanis bukan bapak pluralis.