Gus Dur adalah Wali Tuhan, Ini Pengakuan Dawam Rahardjo
KH Abdurrahman Wahid menjadi bahasan yang selalu aktual. Dalam perjalanan hidupnya merupakan sosok yang kontroversial. Ia punya banyak kawan, pun punya banyak lawan.
Terkait dengan Haul Gus Dur, yang tahun 2019 untuk ke-10, ngopibareng.id menghadirkan pengakuan seteru sekaligus kawan dekatnya. Dialah M Dawam Rahardjo. Keduanya telah almarhum.
Berikut testimoni M Dawam Rahardjo, bagian ketiga, terakhir:
Sekarang ini timbul jawaban, pemikiran Gus Dur itu visioner melampaui zamannya, sehingga tidak mudah dipahami. Saya sendiri berusaha mencari jawaban mengenai tiga hal. Pertama, mengapa Gus Dur menuduh kelompok lain sektarian, sementara ia sendiri sangat menonjolkan identitastnya sebagai orang NU? Kedua, mengapa ia begitu kuat membangun NU sebagai kekuatan politik, dengan mendhikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sementara itu menggiring NU kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi sosial keagamaan dalam kerangka civil society? Ketiga, mengapa mencitrakan dirinya sebagai budayawan dan cendekiawan, tetapi dalam realitas ia memainkan peranannya sebagai insan politik dan begitu berambisi menjadi presiden RI?
Pertama, Gus Dur memang sangat menonjolkan identitas NU dalam arena pergaulan kemasyarakatan dankeagamaan, tetapi ia memperhatikan dart menghargai identitas kelompok lain dari agama lain. Bayangkan jika Gus Dur hanya menonjolkan pluralisrne dan multikulturalisme, maka ia akan terkena tuduhan yang berdasarkan fatwa MUI, bahwa pluralisrne itu merupakan sikap yang memandang semua agama itu sama, dan karena itu agama akan kehilangan identitasnya. Tetapi, ia pun tampak tidak suka dengan penonjolan identitas keislaman, karena akan rawan terhadap tuduhan fanatisme dan sektarianisme. Sehingga, ia iebih mernilih menonjolkan ke-NU-an sebagai salah satu saja dari simbol keislaman dalam konteks kebudayaan dan kemajemukan. Ikhtiar tersebut ia lakukan supaya tidak dituduh mengklaim monopoli keislaman. Karena itu, di lain pihak ia juga mengajak hargai kelompok lain, baik di lingkungan Islam maupun di luar Islam.
Gus Dur juga membesarkan NU dengan pengaruh kuat, karena dengan itu ia akan memperoleh dukungan dari kalangannya sendiri. Dengan kuatnya NU, maka ia bisa menjadi kekuatan pendobrak, melakukan terobosan terobosan dan mengambil sikap yang bisa kontroversi misalnya ketika ia atas nama NU meminta maaf atas Peristiwa pembunuhan besar-besaran terhadap warga PKI dan mereka yang dituduh PKI, di mana warga NU punya peranan besar.
Kedua, Gus Dur memang pelopor kembali kepada khittah dalam Muktamar NU Situbondo 1984. Langkah ini memang diperlukan agar NU tetap bisa menjaga jati dirinya dan tidak terombang-ambing oleh godaan politik, sehingga NU tetap akan menjadi orginasi sosial-keagamaan di arena civil society. Namun dalam perjalanan sejarahnya, NU juga merupakan komunitas yang memiliki aspirasi politik. Agar aspirasi ini tidak mengganggu NU-di masa lalu banyak kiai yang meninggalkan pesantren karena aktif di bidang politik-maka oleh Gus Dur disalurkannya melalui suatu wadah partai politik. Selain itu, ia juga ingin menunjukkan bahwa PKB merupakan partai terbuka dan bukan penganut ideologi Islamisme yang mencita-citakan Negara Islam dan ingin memberlakukan hukum agama sebagai hukum positif.
Ketiga, Gus Dur memang menginginkan kekuasaan politik. Sebab dengan kekuasaan politik ia bisa berbuat banyak, misalnya mengambil keputusan untuk mengakui Kong Hu Cu sebagai agama dan menjamin hak dan kebebasan mereka menjalankan ajarannya. Jika mereka tidak diakui sebagai agama, misalnya sebagai aliran kepercayaan atau filsafat, maka orang-orang Tionghoa bisa meninggalkan agama leluhumya dan terpaksa masuk agama lain. Dengan kekuasaan politik yang dia punyai, Gus Dur dapat menjalankan politik multikulturalisme. Jika ia memegang kekuasaan, maka kejadian yang menimpa Ahmadiyah, komunitas Eden, atau penutupan rumah-rumah ibadah umat Kristen tidak akan terjadi. Dengan kekuasaannya ia juga bisa mendobrak TNI melakukan reformasi internal. Ia bahkan berani mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen walaupun tindakan ini menjadi sebab kejatuhannya karena dianggap melanggar konstitusi, tetapi ia menuduh balik bahwa justru penjatuhannya itu justru yang melanggar konstitusi.
Sebenarnya saya sudah tidak lagi berseteru dengan Gus Dur sejak ia membela Ahmadiyah dan umat Kristen yang teraniaya. Saya juga mengakui sisi positif kepemimpinan Gus Dur dengan menyaksikan perkembangan NU dan lahirnya generasi muda NU progresif seperti Ulil Abshar-Abdalla, A Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, M. Guntur Romli, Kiai muda Maman Imanulhaq Faqieh, dan lainnya yang tampil berani dengan mengusung symbol liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Mereka itu saya pandang sebagai Gus Dur-Gus Dur muda yang mewarisi dan meneruskan perjuangan Gus Dur.
Saya menyatakan perubahan sikap saya itu ketika saya diminta untuk memberi sambutan dalam acara Ulang Tahun Gus Dur di Ciganjur. Saya juga menyatakan bahwa saya memahami mengapa sebagian generasi muda NU menganggap Gus Dur sebagai seorang wali.
Namun saya memiliki kriteria tersendiri mengenai siapa di antara pemimpin Muslim yang dapat disebut wali. Pertama, orang banyak merasakan bahwa kehadirannya membawa rahmat atau kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk Tuhan. Kedua, orang lain bisa melihai bahwa dirinya adalah wali, orang yang dikasihi Tuhan. Sedangkan kasih Tuhan itu tampak pada kasih orang banyak kepada orang itu. Ketiga, terdapat kesepakatan umat Islam maupun penganut agama lainyang mengakui bahwa ia adalah seorang pemimpin atau guru bangsa. Penilaian itu tentu berbeda dari satu orang ke orang lain. Tetapi tanda seorang wali adalah bila itu diperolehnya dari hampir semua orang.
Mengenai anggapan bahwa Gus Dur adalah seorang wali, saya mendapat informasi bahwa Gus Dur sangat marah mendengar orang menganggap dirinya sebagai seorang wali, sejajar dengan Walisongo. Ia tidak menyetujui sikap kultus terhadap seseorang, sekalipun kepada orang besar atau dirinya sendiri. Walau bagaimanapun juga, tetap saja ada yang menganggap Gus Dur sebagai wali, misalnya orang dekat Gus Dur sendiri, Gus Nuril, seorang kiai sekaligus pendekar pluralis yang sedang mengembangkan pesantren antaragama.
Ketika Gus Dur meninggal, pemerintah memutuskan hari berkabung dengan mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu pula berbagai pesantren menyelanggarakan tahlilan dengan pengunjung puluhan ribu orang. Selama tujuh hari tidak habis-habisnya pemberitaan mengenai dan keistimewaan Gus Dur sebagai pendekar ‘hak-hak asasi manusia, dan pluralisme.
Mungkin di masa mendatang akan lahir tradisi haul Gus Dur setiap tahun di akhir tahun, dengan pengajian akbar memperingati Gus Dur yang dihadiri oleh anggota masyarakat dan para pemimpin dari semua kalangan yang berbeda agama dan kepercayaan. Ini akan menunjukkan kecintaan umat dan rakyat kepada Gus Dur yang merupakan tanda-tanda kasih Tuhan kepada Gus Dur. Di sini bisa terbukti sendiri bahwa Gus Dur adalah seorang wali Tuhan, seorang yang sangat dikasihi Tuhan. Semua orang akan memanggil dia “ya habibi” Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan.
Jakarta, 15 Januari 2010
*) Testimoni M Dawam Rahardjo, pernah dimuat di harian Kompas pada 2010. Ditayangkan kembali oleh redaksi, terkait Haul ke-10 Gus Dur, sekaligus sebagai upaya mengenangkan dan ucapan selamat jalan atas wafatnya guru bangsa M Dawam Rahardjo pada Rabu 30 Mei 2018.