Gus Baha: Perlu Berpikir ala Nabi
Sikap heroik, rela berkorban untuk sesama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan sedikit-banyaknya harta yang dimiliki seseorang. Sebab, berkontribusi tidak harus berupa harta benda. Bisa berupa apa pun. Termasuk ide dan tenaga.
Bahkan, bagi orang yang hidup serba pas-pasan, namun orang itu memiliki tekad untuk mandiri, membiayai dirinya sendiri dalam perjuangan menegakkan agama atau kebenaran sudah bisa dimaknai sebagai sikap heroisme. Bahkan, berkali-kali Gus Baha memuji sikap heroisme model ini. Disebutnya lebih dahsyat!
Intinya, berani hidup tanpa mengantungkan diri kepada orang lain saja, sudah merupaka sikap heroisme. “Makanya yang kebetulan miskin jangan berkecil hati,” tandas Gus Baha.
Jadi, untuk bisa berkontribusi mestinya mudah. Cuma kadang dibikin ribet. Mengapa? Karena pada umumnya orang belum selesai dengan dirinya sendiri. Yakni, masih sibuk mengejar atau mengangan-angan sesuatu yang di luar kemampuannya menjangkau.
“Lha wong tahu dirinya miskin, kok membayangkan enaknya punya rumah mewah dan mobil bagus, ya akan binggung sendiri.”
Karena itu, Gus Baha sangat menekankan agar seseorang menyelesaikan dengan persoalan dirinya sendiri. Yakni, dengan tidak bermimpi atau berkhayal sesuatu yang tidak bisa (belum bisa) dijangkaunya. Sebaliknya, harus lebih menumbuhkan rasa syukur. Caranya? Dengan mencari titik yang subtansi dalam kehidupannya dan tidak sulit untuk dijangkau.
Pola hidup sederhana, akan lebih memungkinkan orang untuk bersyukur. Orang yang cara hidupnya sederhana, tentu harapan atau ekspektasi yang diinginkan tidak terlalu tinggi. Sehinggi sangat berpeluang untuk tercapai. Beda dengan orang yang ekpektasinya tinggi, maka peluang untuk kecewa dan tidak bersyukur terbuka lebar.
Orang yang pola hidupnya tinggi, hidupnya akan selalu didikte oleh nafsunya. Hidupnya jadi tidak merdeka. Tersiksa oleh keinginan-keinginannya sendiri terhadap hal-hal yang semestinya tidak subtansial.
“Yang subtansial dalam kehidupan ini apa sih? Sehat. Masih bisa menghirup udara atau bernafas. Lha kalau hari itu dia dan keluarganya masih bisa menikmati itu, harusnya orang itu merasa bersyukur. Karena pada hakekatnya dia tidak beda dengan orang kaya. Yang kaya juga ingin sehat, bisa bernafas. Bila itu tidak bisa, maka kekayaan sebanyak apa pun tidak ada gunanya,” jelas Gus Baha.
Kebutuhan manusia, lanjut Gus Baha, mestinya juga tidak banyak. Meski orang punya rumah banyak, mobil banyak, tapi, tetap saja ada keterbatasan untuk menikmatinya. Tidak mungkin rumah banyak ditempati semua dalam waktu yang bersamaan. Punya mobil banyak, juga tidak mungkin dinaiki semua. Makan pun, paling hanya sepiring. Meski orang itu punya setok makanan yang banyak.
“Ini bukan berarti saya melarang orang untuk kaya. Punya rumah banyak. Mobil banyak. Orang Islam kaya seperti Sayidina Ustman juga diperlukan dalam perjuangan. Yang penting, orang jangan ngotot, mengkhayal berlebihan, menginginkan sesuatu yang tidak dalam jangkauannya. Bisa tersiksa. Tidak bisa bersyukur.”
“Jadi, untuk bersyukur itu simple. Asal di-ngelmoni (didekati dengan pendekatan ilmu). Inilah pentingnya ngaji,” tambahnya.
Menurut Gus Baha, bila orang sudah pandai bersyukur, maka orang itu sudah selesai dengan dirinya sendiri. Hidupnya tenang. Bahagia. Tidak resah. Tidak diliputi rasa iri, dengki, hasyut dan lain sebagainya. Dan untuk kemudian, dia akan dengan mudah berkontribusi untuk sesama.
Munculnya rasa bahagia, tenang, hilangnya rasa dengki, hasyut dan iri, akan membuahkan tatanan sosial. Masyarakat jadi rukun. Saling membantu dan memperhatikan satu dan lainnya. Tidak saling menyalahkan dan saling menuntut. “Inilah makna penting di balik perlunya menumbuhkan sifat heroism itu.”
Dalam berbagai kesempatan, Gus Baha selalu menegaskan bahwa munculnya tuduhan tidak baik terhadap orang lain, biasanya muncul dari dalam diri orang yang menuduh itu sendiri. Contoh misal, si A menuduh si B pelit, tidak peduli terhadap dirinya. Menurut Gus Baha, tuduhan itu muncul karena si A punya sifat tamak. Si A berharap-harap mendapatkan sesuatu atau bantuan dari B. Nah, karena si B tidak memberikan sesuatu yang diharpakan, akhirnya si B dituduh macam-macam.
“Coba kalau A tidak kenal si B, dan karena tidak kenal akhirnya si A tidak punya harapan apapun atas B, maka si A pasti tidak punya pikiran macam-macam. Bahkan, membahas atau menyebut nama B saja tidak,” ujar Gus Baha.
“Maka di kitab-kitab itu tidak ada bab yang membahas sifat pelit atau bakhil. Yang ada adalah pembahasan sifat tamak. Karena dari adanya sifat tamak itu, status medit, pelit atau bakhil disematkan kepada seseorang,” urai Gus Baha.
Hal lain yang sering diingatkan Gus Baha adalah logika nubuwwah (cara berpikir ala nabi). Orang yang telah sukses bersikap heroik, memberikan kontribusi ke masyarakat, maka orang tersebut telah melakukan sesuatu yang terpuji. Mulia di hadapan Allah. Karena itu, orang tersebut tidak boleh berharap balasan atas kontribusi yang telah diberikannya.
Jika berharap balasan, maka itu tidak mengikuti logika nubuwwah. Dalam konteks ini, Gus Baha sering menceritakan para sahabat Ansor yang sangat dermawan dan besar sekali kontribusinya terhadap perjuangan nabi di awal-awal mendakwahkan Islam. Namun, ketika Islam sudah mencapai kejayaan, mereka tidak otomatis diberi imbalan materi. Nabi menginginkan agar para sahabat Ansor yang dermawan, biasa memberi, jangan sampai berubah menjadi orang yang suka menerima pemberian.
Memang, lanjut Gus Baha, sempat ada sahabat yang protes dengan kebijakan nabi itu. Tapi setelah dijelaskan, akhirnya mereka paham dan bisa menerima. “Sifat pemberi, dermawan adalah sifat yang mulai. Itu harus dipertahankan. Jangan sampai gara-gara Islam sudah mengalami kejayaan, sifat yang baik itu menjadi diubah. Dari pemberi menjadi penerima. Dari tangan yang di atas, menjadi tangan yang di bawah,” tandasnya.
Menurut Gus Baha, setan akan selalu menggoda manusia yang perilakunya baik agar menjadi buruk kembali. Sehingga, ketika ada orang yang sudah terbiasa memberi, mendadak karena situasinya sudah berubah kemudian ingin mendapaatkan imbalan, berarti setan telah sukses menggoda. “Lha kalau ingin setan tidak sukses, ya jangan sekali-kali berharap imbalan. Kontribusi yang sudah kita lakukan, jangan diingat-ingat. Bahkan kalau mau diberi imbalan pun, kalau bisa ditolak.”
(Akhmad Zaini-Tuban/bersambung)