Gus Baha: Orang Sholeh Boleh “Membeli“ Suara
Ini tulisan terakhir. Mestinya masih banyak sekali khasanah keilmuan yang bisa ditulis dari mengikuti pengajian Gus Baha. Namun, saya rasa cukup sampai seri ini saja. Untuk selanjutnya bisa diikuti via youtube dan akan lebih baik bisa datang langsung mengikuti ngaji rutin Gus Baha di Narukan, Rembang atau di Jogjakarta.
Untuk tulisan terakhir ini, saya ambil thema politik dan kekuasaan. Tema ini akan bisa menjawab keraguan bagi orang yang sholeh untuk memasuki dunia politik yang sangat berliku dan sering dikesankan kotor.
Gus Baha, saya rasa paham betul soal kekotoran dunia politik, khususnya akhir-akhir ini. Namun demikian, Gus Baha tetap menyarankan agar umat Islam tidak anti politik dan kekuasaan. Karena menurutnya, politik dan kekuasaan akan bisa mendatangkan banyak manfaat bagi perkembangan Islam dan kemaslahatan umat.
“Di Indonesia ini, hampir semua kantor intansi pemerintah ada masjid atau mushollanya. Itu berkah karena politisi atau pejabat di Indonesia mayoritas muslim. Meski bukan muslim yang sholeh semua. Atau banyak yang fasik (banyak melakukan dosa). Namun, karena mereka muslim, mereka tetap berpikir untuk membangun masjid. Paling tidak, tidak menghalang-halangi ketika ada sejumlah pegawai di kantor itu yang usul mendirikan masjid,” jelasnya.
Melalui kekuasaan (pemerintah), pembangunan masjid di daerah-daerah yang bukan basis muslim juga lebih mudah. Dikatakan Gus Baha, jika yang datang ke daerah bukan basis muslim itu para ustadz atau kiai, maka bisa jadi masyarakat sekitar akan menolak dibangun masjid atau musholla. Namun, jika yang datang itu tim medis, umpamanya, tantara atau tim ahli dari pemerintah, maka masyarakat bisa menerima bila di daerah itu dibangun masjid. Apalagi bila yang membangun atas nama negara.
Mengapa masyarakat bisa lebih menerima? Sebab, para dokter, tantara atau tim ahli dari pemerintah itu, datang ke daerah tersebut karena tugas negara. Bukan misi agama. Namun, karena mereka beragama Islam, maka mereka ingin ada masjid atau musholla di tempat tugasnya itu. Nah dengan adanya masjid ini, mau tidak mau syiar Islam telah masuk ke daerah bukan basis Islam itu.
“Di negara-negara non muslim, pembangunan masjid biasanya juga diawali oleh para diplomat dari negara-negara muslim. Karena yang membangun adalah para diplomat dan pembangunannya juga di kawasan kedutaan, maka masyarakat di negeri itu bisa menerima dengan baik. Negara yang bersangkutan, meski sekuler mengijinkan. Mereka tidak protes,” jelas Gus Baha.
Dari sekian contoh itu, Gus Baha selalu mengingatkan bahwa umat Islam tidak boleh anti pati dengan penguasa atau kekuasaan. Hal itu pulalah yang dilakukan para ulama-ulama sepuh dari pesantren sejak jaman dulu. Mereka berprinsip bahwa syiar Islam lewat kekuasaan tidak kalah efektifnya dengan syiar Islam di luar kekuasaan. Dan itu harus dijaga. Jangan sampai penguasa, benci atau tidak dekat dengan ulama.
Gus Baha sangat bersyukur, sampai sekarang ini, umat Islam di Indonesia masih dianggap sebagai kelompok mayoritas yang kuat. Sehingga, penguasa siapa pun, akan mempertimbangkan kekuatan umat Islam. Dalam mengambil kebijakan publik, kepentingan umat Islam akan menjadi pertimbangan. Jika dirasa nyata-nyata akan merugikan umat Islam, seperti membuka kawasan perjudian atau prostitusi, tentu si penguasa akan berpikir seribu kali.
Begitu juga ketika kekuasaan diperebutkan. Mereka yang fasik dan tidak taat beribadah sekali pun, ketika mencalonkan diri untuk menjadi penguasa daerah atau presiden, maka akan berusaha menunjukkan kalau dirinya sholeh dan taat beribadah. “Itu bagus. Berarti Islam masih jadi tolak ukur,” tandasnya.
Menurut Gus Baha, masyarakat masih bisa dianggap baik bila kebenaran masih mendominasi. Orang yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama merasa malu atau bersalah. Meski tetap melakukan, tapi orang itu sadar bahwa yang dilakukan salah. Akan bahaya sekali bila ada orang sudah tidak merasa bersalah ketika melakukan sesuatu yang salah. Dan, masyakakat pun membiarkan dan memakluminya.
“Tugas para ulama adalah menjaga kondisi seperti itu terpelihara. Yang benar tetap dominan. Yang benar tetap menjadi ukuran ideal. Meski, dalam prakteknya banyak masyarakat yang melanggarnya. Dan yang ideal itu masih sulit diwujudkan,” urai Gus Baha.
Menyadarai karena kekuasaan itu sangat efektif dalam mewujudkan kebenaran, Gus Baha menyarankan agar sebagian orang sholeh ikut berkompetisi dalam meraih kekuasaan. Sebab, dengan kekuasaan ada di genggaman orang sholeh, maka berbagai kebaikan akan lebih mudah diwujudkan. Amar makruf nahi mungkar juga lebih efektf untuk dilaksanakan.
“Dengan adanya Taj Yasin (putra Mbah Moen yang saat ini menjabat wakil gubernur), menjadi wakil gubernur Jawa Tengah, komunikasi ulama dan umara’ di Jawa Tengah menjadi terjalin lebih erat. Maka, rasanya tidak mungkin pemprov Jawa Tengah akan membuat kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Begitu juga dengan terpilihnya Khofifah sebagai gubernur Jawa Timur. Tentu akan berefek seperti itu,” papar Gus Baha.
Kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini memang masih jauh dari ideal. Money politics sangat marak. Sehingga, banyak orang sholeh yang enggan terjun ke dunia politik. Meski begitu, Gus Baha tetap berharap, orang sholeh yang mampu untuk terjun ke politik lebih baik terjun ke politik. Jangan semua menjauhi politik. Sebab, itu bisa berakibat lebih buruk.
Lalu, bagaimana dengan money politics? Untuk saat ini, rasanya mustahil seseorang bisa memenangi pemilihan tanpa disertai money politics, meski yang bersangkutan terkenal sholeh? Terkait dengan itu, Gus Baha menjelaskan, pemberian uang kepada pemilih oleh orang sholeh yang sedang mencalonkan diri, bisa dibenarkan. Dengan catatan diniati untuk mengalahkan kefasikan. “Jika orang sholeh tidak memberi uang, maka yang potensial memang orang fasik, maka memberikan uang itu bisa dibenarkan. Niatnya harus membeli kebenaran dan mengalahkan kefasikan,” tandasnya.
Dalam konteks ini, Gus Baha sangat menekankan soal niat dari memberi uang ini. Niatnya harus benar-benar lurus. Kalau salah niat, ya wassalam. Bisa sama-sama terjerumus ke dalam kefasikan.
“Jadi, hadist Rasi wal murtasi winnar. Orang yang menyuap dan yang menerima suap dimasukkan ke neraka, tidak bisa dipahami secara harfiah begitu saja. Harus ada penjelasan hukum berdasarkan kondisi di lapangan. Makanya, harus Ngaji atau tanya ke ulama,” papar Gus Baha.
Terkait dengan “membeli kebenaran” ini, Gus Baha menceritakan, dulu ada seorang Baduy (orang Arab pedalaman) datang ke Rasulullah. Kepada Rasulullah, orang tersebut minta sesuatu. Nabi pun memberi yang diminta di Baduy tadi. Namun, jumlahnya sedikit. Rupanya, si Baduy kecewa dengan pemberian sedikit itu. Dia lalu menyebarkan berita kurang baik ke masyarakat. Dan akhirnya, persepsi kurang baik pun menimpa Nabi.
Mendapati itu, beberapa sahabat dekat Nabi tidak terima. Mereka melaporkan hal itu kepada Nabi. Akhirnya, Nabi pun memerintahkan agar si Baduy tadi dipanggil untuk menghadap Nabi kembali. Setelah si Baduy menghadap, Nabi pun akhirnya memberikan sesuatu tambahan. Namun, disertai syarat agar setelah mendapatkan tambahan itu, si Baduy meralat berita buruk yang sudah terlanjur disebarkannya itu.
Merujuk pada peristiwa itu, Gus Baha menyimpulkan memberi sesuatu kepada seseorang agar yang bersangkutan menyampaikan kebenaran adalah boleh. “Jadi, memberi uang kepada masyarakat agar mereka memilih pemimpin yang sholeh, bisa dibenarkan.”
Gus Baha mengingatkan bahwa menegakkan kebenaran di tengah-tengah masyarakat memang tidak gampang. Berbagai cara terpaksa harus dilakukan. Harus fleksibel. Termasuk hal-hal yang secara dhohir seperti melanggar syariat, namun, jika diniati untuk sesuatu yang baik dan benar, maka hal itu bisa dibenarkan. Dan itu, harus dilakukan dengan berdasarkan ilmu. Tidak boleh asal melakukan, tanpa memiliki ilmu.
Akhmad Zaini -Tuban
Penulis adalah aktivis pendidikan Islam, tinggal di Tuban, Jawa Timur.