Gus Baha: Berislam dengan Ceria
Sisi menarik ngaji dengan Gus Baha –minimal bagi saya—adalah pendekatannya yang “berbeda”. Bila di pengajian lainnya pada umumnya menggunakan pendekatan serius, apalagi bila bicara surga dan neraka, maka Gus Baha beda. Gus Baha lebih memilih untuk memakai pendekatan ceria. Bahagia.
“Orang Islam itu harus menunjukkan keceriannya. Ditaqdir imam kepada Allah SWT harus bahagia. Jangan sampai orang Islam kelihatan susah,” tandasnya di berbagai kesempatan pengajian.
Diceritakan, para ulama sepuh di pesantren rata-rata senang bercanda. Mereka ingin menunjukkan kepada umat bahwa beragama harus senang. Para ulama itu tidak ingin umat punya pandangan bahwa beragama itu beban atau problem.
Bicara surga-neraka, Gus Baha lebih senang bila umat Islam punya optimisme bahwa dirinya itu potensial masuk syurga. “Lha umat Islam khan sudah punya kuncinya syurga: la illaha illallah. Sementara untuk kunci neraka kita tidak punya. Kira-kira kalau masuk rumah yang kita sudah punya kuncinya dan yang tidak punya, mudah mana?” tanya Gus Baha.
Apalagi, bagi Gus Baha, orang beriman dan beribadah kepada Allah, harusnya bukan karena ingin masuk syurga atau takut dimasukkan ke neraka. Beragama model seperti itu, dipandangnya sebagai bentuk beragama yang kurang berkualitas. Kita imam dan beribadah, harusnya semata-mata karena Allah. Titik. Soal syurga dan neraka semua diserahkan kepada Allah. Biar Allah yang menentukan.
Dalam hidupnya seorang muslim potensial melakukan kesalahan atau dosa. Tapi, ampunan Allah dan rahmat Allah harus diyakini lebih besar. Bahkan, Gus Baha menceritkan, ketika ada seorang wali berdoa agar dirinya ditaqdirkan tidak melakukan doa sama sekali, maka Allah menjawabnya dengan mengatakan, “lha kalau manusia tidak pernah bersalah sama sekali, nanti sifat ghofururrohim-Ku khan nganggur?”
Bagi Gus Baha, orang kadang-kadang melakukan kesalahan itu manusiawi. Karena kesalahan itu, terkadang juga muncul dari kebaikan. “Orang memberi pengemis itu baik. Kalau pemberian itu terus menerus, tanpa pernah memberikan pendidikan ke mereka yang minta-minta, bisa menjadi keburukan. Gara-gara sodaqoh, orang menjadi kerasan jadi peminta-minta. Orang istiqomah ngimami di Masjid itu juga baik. Tapi kalau terlalu istiqomah, maka kaderisasi jadi macet. Ini juga masalah,” tandasnya.
Dalam kaitannya manusia potensial melakukan kesalahan, meski awalnya berniat melakukan kebaikan, Gus Baha sangat menyarankan agar umat Islam sering membaca doa yang diambil dari akhir surat Al Baqarah 286. Robbana la tu’akhitna…….dan seterusnya. Artinya: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ayat ini, oleh para ulama penyebar Islam di Jawa dirangkai dengan indah di dalam kutipan-kutipan ayat yang dibaca dalam tahlil.
Soal minta ampun atau istiqfar kepada Allah, Gus Baha juga tidak terlalu sependapat bila hal itu dilakukan dengan penuh ketakutan. Apalagi sampai meraung-raung menangis. Karena dengan begitu, seakan-akan di dalam diri orang itu tidak ada kebaikan sama sekali. Padahal kalau mau jeli melihat, meski seorang muslim telah melakukan kesalahan atau keburukan, namun banyak pula kebaikan yang telah dilakukannya.
“Pagi bangun tidur shalat subuh, kemudian pergi kerja mencari nafkan untuk keluarga, itu semua kebaikan yang tidak boleh dilupakan. Orang ditaqdir bisa sujud (shalat), adalah prestasi yang luar biasa. Karena itu harus senang, gembira. Bahagia dan bersykur. Jangan hanya kesalahan yang diingat-ingat. Rahmat Allah yang menjadikan dirimu bisa sujud dan berbuat kebaikan lainnya, jangan sampai dilupakan gara-gara merasa berdosa karena telah melakukan kesalahan,” urai Gus Baha.
Terkait dengan ini, bahkan Gus Baha menandaskan, orang yang hanya ingat kesalahannya, tapi tidak ingat kebaikan yang telah dilakukannya adalah kesombongan. Karena secara tidak langsung telah melupakan atau menafikan rahmat Allah yang diberikan kepada dirinya. Alangkah baiknya seorang selalu punya prasangka baik kepada Allah. Selalu yakin bahwa rahmat Allah sangat besar. Kasih sayang Allah tidak ada tandingannya. Sehingga, kesalahan sebesar apapun yang dilakukan manusia, tetaplah kasih sayang dan ampunan Allah lebih besar. Dan Allah, Maha Kuasa atas segalanya. Sehingga, Allah bisa mengampuni siapa pun yang dikehendaki.
Karena Allah Maha segalanya, maka Gus Baha juga sering memberikan ilustrasi bahwa untuk dekat dengan Allah ada 1001 jalur. Dikisahkan, seorang wali yang sangat rajin beribadah mendapatkan kabar kalau ternyata ada seorang wali lain yang levelnya sama dengan dirinya. Padahal, si wali tersebut, ibahnya tak serajin dia. Suka tidur. Kenapa demikian? Ternyata orang itu selalu punya prasangka baik kepada Allah. Orang itu selalu yakin akan Rahman dan rahimnya Allah. Juga selalu yakin dengan maqfiroh-Nya.
Dengan perspektif seperti itu, Gus Baha berharap umat Islam bisa rileks dalam hidupnya. Selalu optimistis. Gus Baha juga menegaskan bahwa sujud yang dilakukan seorang muslim adalah prestasi yang luar biasa bagi seseorang. Karena itu, orang yang telah melakukan shalat dan bersujud harus merasa bahagia.
Terkait dengan hal itu, Gus Baha juga mengajarkan agar saat melakukan shalat (sujud), orang tidak perlu was-was, apakah shalat (sujud)-nya diterima apa tidak. “Yakin saja diterima. Lakukan dengan ceria. Sujud adalah prestasi tertinggi kita di dunia. Dengan sujud itu, kita nanti percaya diri menghadap Allah di akherat,” imbuhnya.
Meski sujud adalah prestasi luar biasa, namun Gus Baha sangat menekankan agar seseorang harus tetap menyakini kalau sujud itu bisa terjadi karena semata-mata taqdir Allah. Jangan menganggap itu prestasi pribadi. Tidak boleh sombong. Sebaliknya harus bahagia, senang dan bersyukur karena telah ditaqdirkan bersujud.
Ini pengalaman pribadi. Soal shalat diterima atau tidak itu, dulu sering menganggu pikiran saya. Saya sering khawatir kalau shalat saya tidak diterima. Sebab, meski sudah berusaha maksimal, terkadang di tengah mengerjakan shalat, konsentrasi atau kekhusyu’kan kadang-kadang terganggu.
Bagi orang seperti saya, untuk benar-benar shalat dengan khusyu’ itu memerlukan perjuangan yang sangat berat. Dan rasanya, banyak gagalnya daripada suksesnya. Apalagi kalau mengingat cerita soal khusyu’nya shalat para sahabat yang ketika shalat, mata tombak yang menancap di tubuhnya dicabut, mereka tidak merasakan sakit. Ini jelas khusyu’ kelas “dewa”. Untuk orang kebanyakan, rasanya sangat sulit.
Dengan penjelasan Gus Baha di atas, rasanya jadi plong. Shalat menjadi lebih rileks. Tetap berusaha khusyu’ tapi tidak dihantui perasaan cemas berlebihan. Saat sujud, hati riang gembira. Bersyukur karena detik itu ditaqdir mampu sujud.
Terkait dengan shalat atau sujud ini, Gus Baha juga berpesan agar setelah shalat, dalam hati harus dimunculkan tekad untuk menunggu waktu shalat berikutnya. Sehingga, hidup ini sirklusnya istiqomah dalam kebaikan. Dari kebaikan yang satu menuju kebaikan yang lainnya. Dari sujud yang satu menuju sujud yang berikutnya. “Jika toh di tengah-tengah waktu itu Allah memanggil kita, maka status kita adalah orang yang sedang menunggu untuk melakukan kebaikan (shalat),” tegasnya.
Menghadapi kematian, umat Islam harusnya juga rileks. Kalau diberi panjang umur berarti ada peluang untuk menambah kebaikan. Namun, bila kematian tiba, berarti terhentinya atau selesainya potensi kita melakukan kesalahan. Santai bukan? Makanya harus CERIA. (Bersambung)
Akhmad Zaini-Tuban
(Aktivis Pendidikan Islam, tinggal di Tuban Jawa Timur)