Guru Menerima Hadiah dari Murid, Bolehkah?
Belakangan guru mendapat perhatian serius dari masyarakat secara luas. Mulai dari Presiden Prabowo Subianto sesenggukan memahami nasib para guru. Karena itu, hadiah bagi mereka dengan menaikkan gaji.
Itulah yang membikin hati tersenyum, karena kepedulian pemimpin pada rakyatnya. Para guru, betapa pun, bertanggung jawab akan masa depan bangsa ini.
Lalu bagaimana bila guru mendapat hadiah? Tentu bukan masalah guru dihadiahi gaji naik ya. Tapi, hadiah dalam pengertian umum, yang diberikan oleh para murid mereka. Berikut penjelasan dari sudut pandang khazanah pesantren:
Beredar meme yang mengharamkan seorang guru menerima hadiah dari muridnya. Mungkin karena sekarang momen hari guru di mana banyak murid yang memberi gurunya hadiah.
Argumennya pengharamannya hanya berdasarkan hadis yang diterjemah dengan tambahan keterangan dalam kurung hingga arahnya mendukung konteks pengharaman tersebut. Silakan lihat gambar terlampir.
Sumber otoritatif
Namun tidak seperti itu kesimpulannya bila kita membaca sumber otoritatif dari ulama mazhab. Redaksi hadis aslinya dan terjemah asalnya seperti berikut:
وَعَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدُ فَهُوَ غُلُولٌ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد
"Dari Buraidah dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan, kemudian kami memberinya rizki, maka apa yang dia ambil setelah itu adalah pengkhianatan". (HR. Abu Daud)
Dalam rangka menjelaskan hadis tersebut, Syaikh Ibnu Ruslan menulis seperti berikut:
عن النبي ﷺ قال: من استعملناه على عمل) من أعمال الجهاد أو الصدقة أو غيرهما مما يستحق عليه أجرة (فرزقناه رزقًا) على ذلك فليأخذه، قال إبراهيم: لا بأس بجائزة العمال أن للعامل مؤنة ورزقًا، حكاه الغزالي قال: وقال العلاء بن زهير الأزدي: أتى إبراهيم أبي وهو عامل على حلوان فأجازه. فقيل: (فما أخذ بعد ذلك) أي: فوق ذلك من أموال بيت المال (فهو غلول) بضم الغين واللام وهو: الخيانة
"Dari Nabi ﷺ beliau bersabda: <Siapa saja yang kami angkat untuk suatu pekerjaan> baik itu pekerjaan dalam jihad, sedekah, atau lainnya yang berhak mendapatkan upah, <kemudian kami memberinya rizki, maka hendaklah dia menerimanya.>
Ibrahim berkata: "Tidak ada masalah dengan hadiah untuk para pekerja, sehingga seorang pekerja mempunyai gaji dan rezeki." Hal ini disampaikan oleh Al-Ghazali. Ia juga berkata: "Al-‘Ala bin Zuhair Al-Azdi berkata: 'Ibrahim mendatangi ayahku yang bekerja di daerah Hulwan dan memberinya hadiah.'" Kemudian dikatakan: Apa yang diambil setelah itu, yaitu dari harta Baitul Mal, maka itu adalah ghulul," dengan dhammah ghoin dan lam yang berarti pengkhianatan." (Ibnu Ruslan, Syarah Ibnu Abi Daud)
Jadi, maksud hadis itu menurut penjelasan ini adalah larangan bagi seorang pegawai pemerintah untuk mengambil uang lebih dari kas negara melebihi jatah yang dialokasikan kepadanya. Tindakan seperti itu disebut ghulul atau pengkhianatan alias korupsi dalam bahasa sekarang.
Makna lain dari hadis itu dijelaskan dalam berbagai literatur fikih, misalnya saja al-Hawi karya Imam al-Mawardi bahwa konteks asalnya adalah pemberian hadiah kepada Ibnu al-Lutbiyah yang ditugaskan oleh Nabi untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat tetapi ia menerima hadiah dari orang yang didatangi. Nabi melarangnya sebab menganggap itu sebagai suap dengan indikasi bahwa hadiah tersebut tidak akan diberikan kalau saja Ibnu al-Lutbiyah tidak menjadi petugas zakat, padahal dia sudah digaji untuk tugas tersebut.
Kedua konteks hadis di atas adalah tentang petugas pemerintah yang menerima hadiah atas tugasnya dengan cara yang melanggar hukum. Dan yang dimaksud petugas pemerintah di sini biasanya dalam kitab fikih adalah para pejabat (wulat) dan hakim (qudlat). al-Mawardi menjelaskan:
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمُهَادَاةُ فِيمَنْ عَدَا الْوُلَاةِ مُسْتَحَبَّةٌ فِي الْبَذْلِ وَمُبَاحَةٌ فِي الْقَبُولِ، لِقَوْلِ النبي ﷺ َ -» تهادوا تحابوا".
"Kalau demikian, maka saling memberi hadiah untuk selain pejabat disunahkan dalam konteks pemberiannya, dan diperbolehkan dalam konteks menerimanya, berdasarkan sabda Nabi: "Saling bertukar hadiahlah kalian, maka kalian akan saling akrab". (al-Mawardi, al-Hawi)
Dengan demikian, dalam kasus seorang murid memberi hadiah pada gurunya atau guru menerima hadiah dari muridnya dalam rangka hari guru, maka tidak ada larangan soal itu, selama pemberian tersebut bukan dalam rangka suap tentu saja. Kalau misalnya hadiahnya untuk mempengaruhi nilai atau membuat guru bertindak melawan hukum, maka sudah jelas terlarang.
Selamat hari guru. (Abdul Wahab Ahmad, UINKHAS Jember)
Advertisement