Guru SMA Al-Hikmah Surabaya, Jadi Doktor Pertama Bidang Ini
Meski sudah disibukkan menjadi guru di bidang mata pelajaran kimia, tak menyurutkan semangat Nur Chamimmah Lailis Indriani untuk menuntut ilmu. Perempuan yang akrab disapa Eli ini baru saja meraih gelar doktoralnya di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Guru yang berusia 42 tahun ini, resmi menyandang doktor pertama di bidang Blended Problem Based Learning di Indonesia. Dia juga menjadi guru perempuan pertama yang bergelar doktor di SMA Al-Hikmah Surabaya.
Dalam meraih gelar doktornya, Eli melakukan penelitian berjudul "Pengaruh Blended-Problem Based Learning dan Self Regulated Learning untuk Meningkatkan Keterampilan Pemecahan Masalah dan literasi Sains Mata Pelajaran Kimia".
Dirinya menggabungkan dua metode pembelajaran untuk melihat pengaruhnya pada cara penyelesaian masalah dan literasi sains siswa SMA Al-Hikmah. Dua metode pembelajaran tersebut adalah offline dan online. Baginya pembelajaran online harus tetap dilakukan guna menunjang belajar anak di sekolah.
"Waktu pandemi, pembelajaran online bisa dilakukan di mana saja. Tapi, saya merasa saat ini masih ada kebutuhan pembelajaran online. Sehingga, perlu adanya model pembelajaran yang kalau di sekolah tidak perlu mereview lagi dan siswa tinggal menyelesaikan masalah saja," kata Eli.
Pembelajaran online yang dimaksud adalah ketika di rumah, siswa bisa mengakses materi atau pembelajaran lewat gadget. Sehingga ketika di kelas materi tersebut bisa menjadi bahan diskusi.
Eli mengatakan, dalam penelitian yang dilakukan adalah eksperimen semu. Di mana ada dua kelas yang diberikan perlakukan dengan problem based learning dan satu lagi pembelajaran yang normal.
Pada kelas based learning, lanjut Eli para murid akan diberikan suatu kasus yang ada di kehidupan mereka sehari-hari dan bagaimana pemecahan masalahnya.
"Karena saya guru kimia, pemecahan masalah yang dilakukan tentunya berbasis sains. Misalnya, terkait kandungan boraks dalam pentol. Bagaimana mengujinya secara sederhana? Di sini anak-anak diajarkan untuk melihatnya dengan cairan kunir. Ketika mereka beli pentol, mereka bisa membawa tusuk gigi yang sudah dilumuri cairan kunir, ketika tusuk gigi ditancapkan ke pentol dan berubah warna bisa disimpulkan ada kandungan boraks di sana," terang alumnus S2 Kimis ITS ini.
Cara-cara sederhana seperti di atas menurut Eli, bisa membuat siswa memahami bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah juga bisa diaplikasikan di kehidupan sehari-hari.
Perempuan yang sudah 11 tahun menjadi guru kimia di SMA Al-Hikmah Surabaya ini mengungkapkan, hasil dari pembelajaran berbasis problem based learning memiliki pengaruh yang bermakna terhadap kemampuan pemecahan masalah dan literasi siswa.
"Tetapi memang bagi anak-anak yang kemandirian dan semangat belajarnya masih renda, hasilnya memang kurang maksimal," terangnya.
Ia berharap apa yang sudah diteliti ini bisa berdampak bagi pengajar atau guru lainnya. Sehingga pembelajaran berbasis pemecahan masalah bisa diaplikasikan di sekolah mana pun.
"Ke depan saya ingin mengembangkan penelitian ini sehingga bisa diaplikasikan di banyak sekolah. Harapannya tentu saja bisa membantu pemerataan pendidikan di Indonesia khususnya Surabaya," tandasnya.
Advertisement