Guru Cabuli Siswi SMP di Dalam Kelas, Menteri PPPA Kawal Kasusnya
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, mengatakan, kementeriannya akan mengawal proses hukum kasus kekerasan seksual yang menimpa siswi SMP di Bandar Lampung. Kasus yang mencoreng dunia pendidikan, dilakukan oleh seorang guru berinisial HP, 28 tahun, di ruang kelas.
“Sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi anak, ternyata menjadi tempat kekerasan seksual. Ironisnya dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya sendiri," ujar Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, kepada wartawan di Jakarta 15 Maret 2022.
Kejadiannya berawal ketika guru tersebut meminta korban AM datang ke sekolah dengan dalih ada tugas mata pelajaran yang belum dituntaskan oleh korban. Pada saat itulah HP melampiaskan hawa nafsunya. AM tidak kuasa menolak karena berada di bawah ancaman tidak akan dinaikkan kelas kalau sampai menolak kehendak gurunya.
Kronologi kejadiannya sama dengan hasil koordinasi yang dihimpun oleh Tim SAPA 129 Kemen PPPA dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Bandar Lampung.
Kekerasan seksual tersebut terjadi pada 10 Maret 2022. Aksi pelaku dilakukan di ruang kelas dan korban tidak berdaya akibat ancaman pelaku.
Terungkapnya kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru ini berawal dari kegaduhan di masyarakat serta keberanian keluarga korban melapor ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kedaton dan mendapat respon cepat. "Pelaku HP berhasil diamankan berikut barang bukti pada tanggal 11 Maret 2022. Pelaku sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bandar Lampung, dan segera dilimpahkan ke kejaksaan setalah berkas perkaranya lengkap," kata Bintang.
Kemen PPPA melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bandar Lampung sudah melakukan penjangkauan dan pendampingan kepada korban untuk visum di rumah sakit, memberikan layanan psikologis, serta memfasilitasi rumah aman bagi korban selama proses pendampingan agar terhindar dari desakan pemberitaan media dan rongrongan keluarga pelaku.
Kemen PPPA memastikan kebijakan pemerintah dan peraturannya dapat berjalan dalam proses hukum, dengan mengutamakan kepentingan terbaik anak dan berperspektif korban serta pelaku diberikan ganjaran hukum yang setimpal, agar memberikan efek jera.
Sementara, tersangka dapat dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Primer Pasal 76 D UU 35/2014 jo Pasal 81 ayat 1, 2, 3, 6 UU 17/2016 tentang Penetapan PERPU 1/2016 tentang Perubahan ke-2 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang Undang; Subsidair Pasal 76 E UU 35/2014 jo Pasal 82 ayat 1, 2, 3, 5 UU 17/2016 tentang Penetapan PERPU 1/2016 tentang Perubahan ke-2 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 5 (lima) miliar rupiah.
Berdasarkan Pasal 81 ayat (6) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa Pengumuman Identitas Pelaku, setelah Terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Lalu, berdasarkan Pasal 1 ayat 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka Restitusi ganti kerugian diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku, berdasarkan surat permohonan perhitungan restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebagaimana ketentuan.
Menteri Bintang mengapresiasi keberanian masyarakat yang mulai berani melaporkan kekerasan seksual tersebut pada polisi. Oleh sebab itu diperlukan komitmen APH untuk memberikan keadilan pada korban sesuai peraturan yang berlaku dan menerapkan hukuman maksimal.
Kata menteri, masyarakat memiliki andil dalam upaya melindungi anak, maka jika masyarakat melihat, mendengar, mengetahui sendiri aksi kekerasan terhadap anak dan perempuan, segera kontak respon cepat ke Nomor 129 SAPA atau kirim pesan WhatsApp 08-111-129-129.
Advertisement