Guru Besar UB Malang: Demokrasi di Ujung Tanduk di Bawah Jokowi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang, Prof. Rachmad Safa’at mengungkapkan bahwa kondisi demokrasi Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berada diujung tanduk.
Hal itu disampaikan Prof. Rachmad usai menyampaikan delapan pernyataan sikap yang digelar di depan Gedung Rektorat Universitas Brawijaya, Kota Malang, Selasa, 6 Februari 2024.
Prof. Rachmad mengungkapkan, selama mengamati kepemimpinan Presiden Jokowi dalam lima tahun terakhir ini, ada lima hal yang dapat menjadi indikator bahwa kondisi demokrasi Indonesia sudah berada di ujung tanduk.
Adapun yang pertama, yakni adanya sistem politik ekonomi oligarki yang dibangun dan dikembangkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi dalam lima tahun terakhir ini.
Di mana pemerintah membangun elit oligarki, yakni pengusaha dan pemerintah, untuk menguasai pengambilan keputusan di dewan dan menguasai sumber daya alam (SDA).
Prof. Racmad menyebutkan, elit oligarki yang dibangun pemerintah tersebut sebenarnya tidak lebih dari 100 orang. Tetapi, dia mengatakan elit oligarki ini menguasai 60 persen kekayaan SDA Indonesia, bahkan lebih.
Sedangkan sisa-sisa kekayaan Indonesia tersebut, menurut Prof. Rachmad, baru kemudian dibagi-bagi ke masyarakat Indonesia. Jadi, kata dia, banyak rakyat Indonesia yang akhirnya tidak memiliki akses dalam mengelola SDA.
”Kemarin, Presiden Jokowi memang telah mencabut seluruh tambang yang tidak memiliki izin. Namun, tambang siapa yang tidak memiliki izin itu, ya pertambangan rakyat,” ungkapnya.
Adapun yang kedua, kata Prof. Rachmad, persoalan korupsi yang diabaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal, persoalan korupsi ini menurutnya berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
”Negeri kita ini naik derajat korupsinya. Tapi, persoalan korupsi ini diabaikan. Kalau tidak salah, internasional menyebut Indonesia sebagai (salah satu) negara paling korupsi di dunia,” ungkapnya.
Prof. Rachmad pun menyinggung soal temuan mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang mengungkapkan adanya temuan kasus transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Menurutnya, pemerintah seharusnya menindaklanjuti. Namun, Kepala Negara segera berganti, kasus yang ditemukan Mahfud MD tersebut tidak ditindaklanjuti dan hilang seperti ditelan bumi.
”Artinya, (temuan kasus transaksi janggal di Kemenkeu) itu harus ditindaklanjuti. Siapa yang menghabiskan uang sebanyak itu? Kalau digunakan untuk bangun rumah sakit dan sekolah, bisa bangun banyak itu,” kata dia.
”Bahkan, untuk mensejahterakan rakyat lebih dari cukup. Tidak hanya untuk BLT, tapi untuk kepentingan bagaimana rakyat bisa bekerja itu lebih dari cukup. Tapi, sampai saat ini, nyatanya temuan itu tidak ditindaklanjuti,” imbuhnya.
Adapun yang ketiga, Prof. Rachmah menyebutkan, Presiden Jokowi yang merupakan Kepala Negara memanfaatkan jabatannya tersebut untuk membangun sistem oligarki personal otoritarian.
”Jadi, dia (Presiden Jokowi) otoriter betul. Dia menggerakkan MK (Mahkamah Konstitusi), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan TNI-Polri untuk berada dalam cengkraman politik dia,” kata dia.
”Kemudian, ada persoalan di mana tentara tidak berani ngomong dalam situasi seperti saat ini (demokrasi di ujung tanduk). Semua diancam oleh dia (Presiden Jokowi). Ini yang disebut oligarki personal otoritarian itu,” jelasnya.
Adapun yang keempat, Prof. Rachmad menyebutkan, kurang baiknya etika politik yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi dengan mencalonkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada kontestasi Pemilu 2024.
Dalam upaya meloloskan Gibran menjadi cawapres, dia mengatakan Presiden Jokowi dengan menggunakan kekuasaannya untuk mendorong MK agar merubah persyaratan sebagai cawapres.
Padahal, kata Prof. Rachmad, syarat menjadi cawapres sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu menyebutkan bahwa harus berumur 40 tahun atau kalau belum berumur punya pengalaman menjadi Gubernur.
”Tapi, Gibran, (pernah menjadi) Gubernur saja tidak, Walikota masih dua tahun. Tapi, kok bisa jadi (cawapres), ini pelanggaran etik yang luar biasa,” tegas Guru Besar Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam ini.
Adapun yang kelima, Prof. Rachmad mengatakan, Presiden Jokowi secara terang-terangan menyatakan dirinya boleh berpihak dan mendukung salah satu capres-cawapres yang akan berkontestasi di Pemilu 2024.
Padahal, dijelaskan Prof. Rachmad, Presiden Jokowi merupakan Kepala Negara yang merupakan penyelenggara Pemilu 2024. Artinya, sebagai penyelenggara, seharusnya tidak boleh berpihak pada salah satu capres-cawapres.
”Tapi, yang dilakukan Jokowi adalah dia boleh berpihak. Menyatakan dirinya sendiri boleh berpihak. Ndak boleh itu, dia ini sebagai penyelenggara. Masak ikut menendang bolanya. Gak karu-karuan jadinya,” ucapnya.
Atas fenomena itulah, lanjut Prof. Rachmad, tidak salah jika akhirnya perguruan tinggi di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI) hingga UB sendiri kompak menyampaikan pernyataan sikap untuk merespon kondisi demokrasi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja tersebut.
Artinya, kata dia, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang menyampaikan sikap untuk merespon kondisi demokrasi Indonesia tersebut memang murni menyuarakan pendapatnya untuk perbaikan negeri.
”Saya tahu persis orang-orang di bawah UGM, UI. Jadi, mereka memang sungguh-sungguh menyuarakan ini untuk perbaikan negeri. Bukan punya tendensi kepada salah satu paslon. Nah, Universitas Brawijaya juga seperti itu,” tuturnya.