Guru Bangsa, 84 Tahun Buya Syafii Maarif
Hari-hari ini, pilihan untuk menjadi ‘Guru Bangsa’ adalah pilihan yang sulit. Terlalu mahal harganya sehingga tak semua orang bisa membayarnya.
Untuk menjadi seorang ‘Guru Bangsa’, ketokohan saja tidak cukup. Tidak pernah cukup. Apalagi sekadar kecerdasan dan pengalaman mentereng! Seorang Guru Bangsa harus berani berdiri mengadang gelombang, tenang di tengah kepungan dan caci maki, untuk teguh dan setia menyediakan diri bagi bangsa ini—dengan pikiran dan hatinya yang bijaksana.
Seorang Guru Bangsa adalah tempat kita bertanya. Tempat masyarakat ini berkaca. Seseorang yang kita percaya dan teladani karena integritasnya, kebijaksanaannya, keteguhannya membela nilai-nilai yang merajut bangsa ini.
Di antara begitu banyak tokoh yang saban hari kita dengar namanya, sedikit sekali dari mereka yang layak kita sandangkan gelar ‘Guru Bangsa’. Tetapi, di antara yang sedikit itu, tak diragukan lagi Buya Syafi’i Maarif adalah satu di antaranya. Di tengah gulita malam, di tengah ladang yang buta, Buya Syafi’i selalu bisa menjadi lampu pijar yang menyala-nyala dari pondok kecil yang bersahaja.
Syafi’i Maarif lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ia adalah seorang ulama-intelektual dan intelektual-ulama yang sebenarnya. Sejak kecil dikader di pesantren pencetak ulama Muhammadiyah, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (1956). Kelak, ia bukan hanya menjadi seorang ulama-muballigh yang mendidikasikan dirinya sebagai pendidik (mu’allim), tetapi tumbuh menjadi intelektual kelas dunia.
Syafi’i Muda mendapat gelar master dari Ohio State University, kemudian gelar doktor dari Chichago University. Lalu mendapat gelar guru besar (Profesor) dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu IKIP Yogyakarta) di bidang sejarah dan pemikiran Islam. Pada gilirannya, kader tulen Muhammadiyah ini pun memimpin organisasi Islam modern terbesar di dunia itu, ia menjadi ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005.
Namanya tak hanya harum di dalam negeri. Dunia internasional juga mengakui kalibernya, ia pernah menjabat sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP). Kiprah dan dedikasinya untuk ummat dan bangsa, terutama keteguhannya dalam menjaga perdamaian, membuatnya dianugerahi Magsaysay Award pada tahun 2008. Semacam hadiah nobel kecil untuk isu perdamaian dan kemanusiaan.
Dengan segala pengalaman, jaringan, dan nama besar yang dimilikinya, sebenarnya Buya Syafi’i Maarif bisa menjadi apapun. Ia kerap ditawari berbagai posisi penting di negeri ini, tetapi Buya Syafii selalu menolaknya. Ia tak silau pada jabatan. Ia tak mementingkan dirinya sendiri. Barangkali ia ingin menjadi seorang ‘mua’allim’ yang sejati, ia adalah guru yang mencetak banyak kader luar biasa yang kini memberi kontribusi penting untuk bangsa ini. Ia memberi kesempatan untuk yang muda. Karena, katanya, masa depan negeri ini ada di tangan anak-anak muda.
Kini, di masa pensiunnya, Buya Syafi’i tak sedikitpun berubah. Ia tetap menulis dan memberi kuliah pada beberapa forum penting. Dari rumahnya menuju kampus, ia mengayuh sepeda onthel. Pernah pada suatu ketika ia diundang ke Jakarta untuk bertemu tokoh-tokoh nasional... Buya naik kereta dari Stasiun Tugu Yogyakarta dan turun di Gambir. Padahal, jika ia mau, murid-muridnya bisa menyediakan fasilitas kelas satu—yang paling mewah yang ia mau. Bahkan ketika ia sakit, ia duduk mengantre di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah dan menolak diistimewakan.
Ya, itulah Buya. Ilmu di kepalanya, keluasan pengalamannya, tak mengubah akhlak dan pekertinya yang bersahaja. Ia tetap menjaga kesederhanaan dan integritasnya, tak pernah neko-neko! Buya memberi kita semua teladan, betapa berlian tak pernah perlu membuktikan dirinya mahal dan berharga.
Hari ini, Buya tepat berusia 84 tahun. Ia masih bersepeda ke tempat kerja, berjamaah di masjid dan memberi ceramah, berbicara di banyak forum. Buya harusnya sudah bisa beristirahat dan menikmati ketenangan hidup... Tetapi, ia tak mau. Ia masih ingin berkhidmat untuk bangsa ini. Ia tak ingin berhenti menjadi seorang ‘Mu’allim’, seorang pendidik.
Belakangan, saya mendengar kabar bahwa Buya khusus meminta kepada Pak Haedar Nashir (ketua umum PP Muhammadiyah saat ini) agar dijadikan ketua panitia pembangunan Madrasah Mua’allimin Yogyakarta—almamaternya, sekolah kader tertua milik Muhammadiyah. Bayangkan, ia tak meminta posisi lain yang membuatnya hanya tinggal duduk dan memberi nasihat saja! Ia turun langsung menjadi ketua panitia! Ia ingin bekerja dan memberi kontribusi nyata untuk persyarikatan, untuk masa depan kader-kader Muhammadiyah.
Itulah Syafi’i Maarif. Itulah guru saya, guru Anda semua, guru kita, Guru Bangsa ini. Masih banyak yang perlu kita pelajari darinya. Banyak yang perlu kita teladani.
Selamat ulang tahun, Buya. Terima kasih telah menjadi teladan nyata untuk kita semua. Segala doa terbaik dari kami, tercurah untuk Buya dan keluarga. Sampai nanti, sampai kapanpun, meski kami tak bisa membalas semuanya... Teruslah menjadi pijar untuk negeri ini, teruslah menjadi pondok tempat kami bertanya, tempat kami menempa, tampat kami merasa punya ‘orangtua’. Fahd Pahdepie