Gunungan, Simbolisasi Hati dalam Perspektif Kaum Santri
Berbulan-bulan sebelum pandemi meringkus kebiasaan kita semua di Indonesia mulai Maret lalu, di kalangan seniman, beredar jadwal pentas dhalang wayang kulit kondang, Ki Seno Nugroho, dalam sebulan. Disebutkan, ada lebih dari 15 pementasan yang akan dilakukan sebulan. Artinya, minimal 2 hari sekali dia mendapat "tanggapan" untuk pentas wayang.
Bahkan tidak sedikit "tanggapan" yang berurutan tiap hari. Tidak hanya di kawasan D.I. Yogyakarta Ki Seno pentas, tapi banyak di kota lain di pulau Jawa.
Di puncak popularitasnya ini, pada Selasa, 3 November 2020, pukul 22.15 WIB, Ki Seno Nugroho "tancep kayon", mengakhiri semua lakon kehidupan yang telah dilaluinya hingga di titik 48 tahun, 2 bulan, 10 hari.
Nyala lampu blencong kehidupannya dengan segera diredupkan oleh garis Tuhan Yang Maha Dalang. Kabeh wis ginaris dening Gusti Allah Ta'ala. Ki Seno meninggalkan seorang istri, Agnes Widiasmoro, dan tiga putra-putri: Anglir Kinanthi, Gadhing Pawukir, Djenar Nyimas Ayu.
Lalu apa makna kayon, dalam jagat pewayangan?
Kayon juga disebut sebagai Gunungan. Dalam perspektif kaum santri, kayon sebagai simbolisasi hati.
"Istafti Qalbak" (mintalah fatwa kepada hati nuranimu sendiri).
Kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.
Hati menurut filosofi Jawa disimbulkan oleh Gunungan atau Kayon (juga disebut Kelir) di dalam pagelaran wayang purwa, di dalamnya terdapat gambar empat jenis binatang yang menggambarkan 4 jenis nafsu manusia, keempat jenis binatang tersebut adalah :
1. Macan (Harimau): Menggambarkan nafsu amarah "Remenipun paben fitenah" (menyukai kepada adu domba, fitnah, dan sejenisnya ).
2. Banteng: Menggambarkan nafsu Sufiyah "Remenipun milik sanes kewajibanipun" ( menyukai iri dengki, hasud, tidak suka bila orang lain dapat kenikmatan / kebahagiaan ), cenderung suka keindahan.
3. Kethek (Monyet): Menggambarkan nafsu Lawwaamah "Remenipun mangontho-ontho kereng donyo artho" (menyukai dunia dan harta benda).
4. Burung Merak: Menggambarkan nafsu Mutmainnah "Remenipun nderek gugon tuhon, bimbing pangiwo, mundi-mundi sajen-sajen, kuthuk-kuthuk ahli peteng karang sihir, kadiddayan, kanuragan" (patuh tanpa ditelaah terlebih dahulu, menyembah tetapi salah arah ), sebenarnya nafsu ini cenderung baik tetapi bila berlebihan juga tetap tidak baik.
Contohnya : memberi uang atau sedekah kepada orang yang kekurangan itu baik, tetapi ketika semua uangnya diberikan kepada orang yang kekurangan itu mengakibatkan hidupnya menjadi susah / rusak, hal itu akan itu menjadi tidak baik.
Sebagai gambaran orang yang menaiki kereta kuda, keempat nafsu tersebut merupakan kuda penggerak agar kereta dapat berjalan, maka
"Sang Kusir" harus mampu mengendalikan, mengarahkan kudanya agar dapat mengantarkan "Sang Kusir" dan penumpangnya sampai pada tujuan yang sebenarnya yaitu untuk mendapatkan cinta dan ridho dari Allah Swt. jangan sampai malah "Sang Kusir" yang mengikuti atau malah dikuasai oleh sang kuda (dikuasai oleh hawa nafsu).
"Semoga kita dan seluruh keluarga kita selalu bertaqwa kepada Allah, selalu pandai mengendalikan hawa nafsu kita, dan selalu mendapat ridho dari Allah Swt. Amin!' Demikian penjelasan Ustadz Keman Almaarif dari Jombang.