Gudeg Yogya, Tradisionalisme vs Modernisme
Empat hari lalu saya berada di Yogya dan membawa oleh- oleh khas Yogya, gudeg Yogya. Suatu jenis masakan khas dengan bahan utama nangka muda yang dimasak secara khusus sehingga tahan lama dan rasanya enak sekali. Gudeg Yogya sudah ada sejak tahun 1600 ketika mulai pembabatan hutan Mentaok yang kini menjadi pusat keraton Yogyahadiningrat. Sejak saat itu Gudeg menjadi ikon kota Yogyakarta.
Pada awal 1970-an, Gudeg menjadi bahan cemoohan oleh kaum modernis yang menganggap bahwa gudeg merupakan suatu jenis makanan peninggalan lama yang tidak bergizi sehingga perlu ditinggalkan. Mereka menganggap Gudeg adalah salah satu contoh peninggalan budaya yang telah usang. Tokoh-tokoh kaum modernis Yogya pada waktu berpusat di sekitar atau pendukung Majalah Mingguan Basis, Dick Hartoko (alm), Sindhunata dllnya. Saya meskipun bukan bagian kaum modernis, tetapi berlangganan majalah tersebut untuk menambah wawasan.
Kaum modernis itu berpendapat bahwa cara berpikir orang Jawa tidak lagi cocok dengan zaman modern karena lebih mementingkan bentuk dari materi (isi) dan sarat dengan simbolisme atau lebih mementingkan simbol dibanding substansi. Menurut pendapat mereka, kalau ingin maju, cara berfikir yang formalistis itu harus ditinggalkan dan diganti dengan pola pikir yang materialistik seperti pola pikir orang Barat. Kalau mereka menganggap Gudeg tidak bergizi, saya anggap sebaliknya, suatu makanan bergizi yang tahan lama tanpa bahan pengawet.
UGM dan Santri Krapyak
Pada masa itu saya masih yunior tahun pertama dan kedua di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pesantren Krapyak Yogya dibawah asuhan Kiai Ali Maksum, sehingga hanya memosisikan diri sebagai pendengar. Namun saya menikmati perdebatan berminggu-minggu baik melalui majalah atau diskusi publik terbuka. Hal itu karena saya sudah mendapat pengetahuan yang sangat berharga sebelumnya untuk menyikapi perdebatan itu.
Dalam pelajaran fiqih, Ustadz menyampaikan dalil qowaid al fiqh “memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik “ atau
المخا فظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلاح .
Bagi seorang santri semacam saya, tidak perlu terlibat arus perdebatan pro dan kontra atas masalah tersebut. Semuanya sudah jelas bahwa semua akan berubah melalui proses transformatif. Nilai baru akan diterima kalau bisa bersinergi dengan nilai lama atau bahkan memperkuat nilai lama.
Para pendiri bangsa ini sudah memberikan contoh dengan mewariskan ideologi negara dan bangsa “Pancasila” yang merupakan perpaduan nilai-nilai modern dengan nilai nilai tradisi atau suatu kearifan lokal bangsa ini.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat masalah sosial politik, tinggal di Jakarta.