Gudeg Bromo Bu Tekluk, Pedasnya Pol, Langganan Ganjar Pronowo
Yogyakarta dijuluki kota gudeg. Memang pantas. Faktanya waktu berkeliling di Yogya, warung nasi gudeg terlihat ada di mana-mana. Ibaratnya, setiap jengkal ada warung nasi gudeg yang identik dengan nama pemilik.
Misalnya, Gudeg Yu Djum di Jalan Parangtritis Mantrijeron, Gudeg Pawon Bu Ika Janturan Warungboto, dan gudeg Suharti Gajah Mada Gunungketur Pakualaman. Gudeg yang cukup dikenal masyarakat ini umumnya didominasi dengan rasa manis.
Tetapi berbeda dengan Gudeg Bromo Bu Tekluk di Jalan Affandi Santren, Caturtunggal yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa dan anak muda, justru menyajikan nasi gudeg dengan krecek yang pedasnya pol-polan.
Tapi untuk menyantap gudeg Bu Tekluk ini baru bisa dilakukan pukul 23.00 WIB hingga warungnya tutup pukul 05.00 dini hari.
Gudeg kuliner Yogya yang ikonik, kebanyakan penjualnya menawarkan gudeg pada pagi hingga siang hari. Meskipun gudeg Bu Tekluk ini spesial buka pada malam hari, pengunjungnya membludak dan harus antre. Apalagi pada malam Minggu, antreannya bisa mencapai 400 meter.
Ngopibareng.id pun tertarik mencicipi nasi gudeg yang pernah jadi langganan Ganjar Pranowo hingga Nikita Mirzani ini. Tempat makannya menggunakan konsep lesehan di emper pertokoan. Selalu rame karena masih dalam kawasan Kampus UGM dan Universitas Negeri Yogyakarta.
"Mahasiswa dan masyarakat yang mengikuti kegiatan hingga malam hari kalau lapar larinya ke sini," kata Wanto, salah seorang putra sulung Bu Tekluk sambil melayani pelanggan yang mengular di depan bedak tempatnya jualan.
Ngopibareng.id tiba pukul 23.30, melihat banyak anak muda tengah menikmati Gudeg Bromo Bu Tekluk. Uniknya, semakin larut malam, tempat makan ini malah makin ramai. Katanya, belum buka pengunjung sudah antre.
Wanto yang dipercaya mengurus usaha Gudeg Bromo Bu Tekluk, menuturkan kalau usaha gudeg ini sudah ada sejak November 1984. Perintisnya adalah ibunya sendiri bernama Ibu Sumijo.
Adapun nama 'Bromo' disematkan karena lokasi tempat mereka tinggal di Jalan Bromo. Nama 'Bu Tekluk' juga unik karena diberikan para pengunjungnya. "Ibu itu dulu kalau jualan malam ngantuk sampai teklak-tekluk," kata Wanto.
Kata 'tekluk' sendiri berasal dari bahasa Jawa. Artinya terkantuk-kantuk yang membuat kepala sampai tertunduk. "Dulu, ibu juga ngemil makanannya sendiri karena biar nggak ngantuk," kata Wanto sambil melayani pelanggan.
Ia mengakui, ibunya menjadi ikon dari tempat makan ini karena banyak pembeli suka mencari Ibu Sumijo, yang sudah tergolong lansia.
Dulu, Ibu Sumijo menjual gudegnya malam-malam karena menempati area emperan ruko. "Dulu buka sempat pukul 19.00, cuma kehadiran kita yang ramai mengganggu bisnis toko. Jadi, bukanya lebih malam lagi pukul 23.00 sampai 05.00," ujarnya.
Seporsi nasi gudeg di sini sekilas mirip dengan tempat lain dimana lauk pelengkapnya ada aneka olahan telur dan potongan ayam, namun ciri khasnya ada pada krecek yang super pedas.
Tekstur kreceknya sendiri agak garing dan kokoh, bukan tipe yang basah lembek. Karenanya menggigit krecek ini jadi kenikmatan tersendiri.
Untuk cacahan nangkanya lebih kecil-kecil dan halus daripada gudeg biasanya. Rasa manisnya pas, tak terlampau kuat dengan tekstur yang empuk.
Keunikan lain pada nasi gudeg ini ada pada siraman kuah yang bukan dibuat dari blondo atau ampas santan, melainkan pakai kacang.
"Kita pakai kacang. Dulu ibu melihat ada anak-anak yang sensitif sama minyak jadi batuk-batuk. Jadi, ibu buat resep yang aman dengan pakai kacang sebagai pengganti blondo. Kacangnya pakai kacang tanah," kata istri Wanto menambahkan.
Beberapa pengunjung menyampaikan, nasi gudeg Bu Tekluk ini memiliki rasa yang jauh lebih gurih dan tekstur sedikit lebih kental. Saat kuah ini menyatu dengan nasi panas, rasanya amat nikmat.
Bagi yang tidak suka dengan makanan pedas, harus hati-hati, selain krecek pedasnya tidak ukuran, masih ada beberapa cabe rawit yang terselip.
Soal harga tergantung menunya. Kalau hanya nasi gudeg dengan lauk krecek dan telur cuma Rp20.000. Bila ditambah opor ayam kampung harga per porsinya Rp 40.000.
"Kalau anak kampus, biasanya pesan paket murah meriah, tanpa opor ayam," tutur Wanto sambil tertawa.
Sistem pembayarannya tunai. Setelah dilayani sesuai pesanan, langsung bayar. Kemudian tempat makannya cari sendiri lesehan di trotoar beralas tikar plastik.
Bagi yang membawa mobil sebenarnya bisa makan di dalam mobil, tapi mereka lebih suka nglesot di trotoar bersama pengunjung lainnya.
Advertisement