Gubernur Jabar Setuju KRL Jabodetabek Berhenti Beroperasi
Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil setuju penghentian operasional Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line untuk mencegah penularan wabah COVID-19.
"Sekarang mengemuka lagi penghentian KRL, saya juga sangat mendukung. Karena problem-nya adalah OTG atau Orang Tanpa Gejala. Jadi, walau sudah ada protokol kesehatan di KRL, OTG ini tidak ketahuan padahal ada virus. Yang menjadi fundamental juga adalah yang mencari nafkah di Jakarta, selama kantornya memang masih buka, maka alasan dia untuk bepergian itu tidak bisa dihindari,” ujar Kang Emil dalam siaran persnya, Sabtu.
Ia mengatakan, Pemerintah Provinsi Jabar, DKI Jakarta, dan Banten sepakat mengusulkan pengendalian penyebaran COVID-19 di KRL Commuter Line ke pemerintah pusat usai ditemukannya penumpang positif COVID-19 di KRL.
Hal itu, kata dia, dibahas dalam video conference bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan bupati/wali kota Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek) serta Sekretaris Daerah Banten yang juga diikuti oleh Gubernur Jabar M Ridwan Kamil.
Kang Emil menilai, KRL yang merupakan tempat berkerumunnya warga itu, identik dengan sifat virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang menyebar melalui kerumunan orang.
“Kita tahu COVID-19 ini penyakit kerumunan. Di mana ada kerumunan, di situ ada COVID-19. Nah, salah satu kelompok kerumunan adalah KRL,” katanya.
Untuk itu, diusulkan beberapa hal melalui video conference tersebut agar penyebaran COVID-19 di layanan transportasi publik khususnya KRL Jabodetabek bisa dikendalikan.
Dia meminta agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama pemda Bodetabek mengusulkan kembali penghentian operasional KRL berdasarkan data dan fakta penyebaran COVID-19 di layanan transportasi publik.
"Pertama, aspirasi awal dari Pemda Provinsi DKI Jakarta, yang akan diperkuat oleh para bupati/walikota Bodetabek sebagai penyangga Ibu Kota,” ujarnya.
Kedua, agar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta membuat kebijakan untuk perusahaan yang masih beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mendata karyawannya yang tinggal di luar Jakarta, sehingga didapat data jumlah penumpang KRL sekaligus mempermudah aturan yang dibuat.
Selain itu, dengan penerapan PSBB di Jabodetabek, Kang Emil mengusulkan dua opsi bagi perusahaan yang masih ingin beroperasi saat PSBB. Pertama, perusahaan menyediakan kendaraan antar jemput karyawan.
Kedua, perusahaan menggelar tes metode Polymerase Chain Reaction (PCR) secara mandiri. Hasil tes tersebut bisa menjadi dasar keputusan dibuka atau ditutupnya perusahaan.
Apabila hasilnya menunjukkan perusahaan bebas COVID-19, maka perusahaan tersebut bisa dibuka. Sebaliknya, apabila ada karyawan yang positif COVID-19, maka perusahaan itu harus berhenti beroperasi.
“Opsinya ada dua, menyediakan kendaraan oleh perusahaan. Saya kira itu konsekuensi, Anda mau buka di saat PSBB, Anda juga bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawan yang tidak semuanya tinggal di Jakarta,” ujar Kang Emil.
“Atau opsi kedua, seperti yang saya lakukan di Jawa Barat. Perusahaan yang buka (beroperasi) harus melakukan tes COVID-19 dengan biaya sendiri. Mungkin ini bisa jadi solusi juga, sehingga kasarnya orang yang berpergian itu bebas COVID-19 dengan bukti tes PCR,” kata Ridwan Kamil. (ant)
Advertisement