Greget Pildun
Tinggal kurang empat hari, hiruk pikuk Piala Dunia U17 masih belum terasa. Hatta di Surabaya. Kota tempat pembukaan gelaran kompetisi sepak bola yang diikuti berbagai negara dari seluruh dunia ini.
Sepi. Belum terasa gregetnya.
Atau saya yang kuper alias kurang perhatian. Tapi sejak minggu kemarin, saya menyempatkan keliling kota. Ada beberapa umbul-umbul Pildun U-17 dan umbul-umbul Kota Surabaya. Di beberapa jalan utama terpasang banner tentang piala dunia.
Umbul-umbul dan banner itu berwarna kuning kunyit. Itu warna yang dipilih menjadi warna dasar semua materi branding dan promosi gelaran sepak bola dunia kelompok umur ini. Juga warna dasar hijau toska. Ada juga warna dasar coklat tua.
Dua warna dasar yang tidak mencolok ketika terik matahari sangat terang. Apalagi jumlahnya yang terlalu sedikit dibanding besarnya kawasan Surabaya yang menjadi ibukota Propinsi Jawa Timur ini. Warna yang tidak segera mencuri pandang.
Umbul-umbul itu saya lihat di Bundaran Waru, Jalan Ahmad Yani, dan beberapa jalan protokol. Ada juga di jalan menuju Stadion Gelora Bung Karno dari arah Romo Kalisari. Si sekitar venue pertandingan pun tak begitu mencolok bahwa akan ada gelaran sepakbola skala Internasional.
Saya sempat menyusuri jalur menuju Stadion GBT. Baik dari tol maupun jalan biasa. Bahkan saya sempat blusukan ke daerah barat sampai kawasan perumahan elit Citraland, Pakuwon Indah, dan Graha Famiy. Di jalan maupun pojok rumah tak terlihat media branding Piala Dunia U17.
“Belum juga kelihatan gregetnya di kampung sekitar stadion. Tampaknya memang tidak semua elemen masyarakat dilibatkan,” kata Masduki Toha, mantan pimpinan DPRD Surabaya yang tinggal di Benowo, dekat GBT..
Namun, dalam pengamatannya, sejak sore (Minggu sore, 5 Nopember 2023) ada pergudangan di daerah tersebut yang memasang umbul-umbul piala dunia. Mereka mengaku membuat sendiri dan diminta untuk beli tiket pembukaan.
Di Bandara tempat kedatangan para timnas dari berbagai negara juga tak terlihat media penyambutan yang mencolok. Masih kalah dengan jumlah bendara partai dan baliho para kandidat pemilu presiden dan legislatif 2024.
Situasi yang kurang lebih sama terjadi di kota Solo. Kota yang akan menjadi tempat resepsi penutupan Piala Dunia. “Saya belum melihat greget di Solo,” kata Herry Varia, mantan wartawan yang kini memilih menjadi pengusaha di kota tersebut.
Ia menduga situasi politik belakangan ikut mempengaruhi persiapan gelaran Piala Dunia U17 di kota ini. Semua tahu bahwa pendukung Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dari PDI Perjuangan sedang berseberangan dengannya gara-gara putra Presiden Jokowi itu menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Padahal, mereka selama ini menjadi basis penggerak berbagai program yang digelar walikota yang menjadi cawapres termuda ini. ‘’Saya tidak tahu kelak apakah nobar yang bisa digelar Pemkot Solo akan seramai seperti sebelumnya?,’’ tambah Heri yang alumnus Fisipol UGM ini.
Memang Pildun kelompok umur tidak sesemarak Pildun Qatar 2022. Yang menjadikan Argentina sebagai juara dunia sepakbola. Juga mengerek Timnas Maroko sampai pada tingkat perempat final. Yang kembali membuat Perancis gigit jari dan harus mengakui Argentina di puncak.
Piala Dunia di Qatar menjadi alat branding yang kuat bagi negeri penyelenggara. Membuat salah satu negara Arab ini sukses menampilkan wajah baru negara muslim moderat ke dunia global. Negeri Arab yang kali pertama sukses menjadi penyelenggara gelaran sepakbola dunia.
Hampir setiap negara berebut menjadi penyelanggara even ini karena kekuatannya untuk menjadikannya sebagai strategi komunikasi dan branding negeri. Sebagai jenis olahraga dengan penggemar paling besar di dunia, sepak bola telah menjadi rezim tersendiri. Yang otoritasnya di atas pemerintah dari masing-masing negara.
Indonesia yang mulai bangkit sepak bolanya, tak ketinggalan untuk menjadikan piala dunia sebagai alat rebranding. Tadinya berhasil menjadi tuan rumah Pildun U-20. Sayang, karena yang lolos prakualifikasi ada timnas Israel, membuat gelaran itu dianggap sensitif secara politik dan batal.
FIFA lantas menganggantikannya dengan menjadi tuan rumah Pildun U17. Mestinya, ini menjadi momentum Indonesia dan berbagai kota yang menjadi tempat bertanding untuk menyambutnya dengan gegap gempita. Menjadi bagian dari branding masing-masing kota.
Promosi yang kurang barangkali menjadi salah satu membuat Pildun U17 kali ini kurang greget. Di media, isunya kalah dengan kontroversi di panggung politik. Mulai dari kontroverai keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batas umur capres dan cawapres, konflik terpendam antara Presiden Jokowi dengan PDI Perjuangan, dan sebagainya.
Saya tidak tahu apakah juga akan selesu ini jika Ketua Umum PSSI Eric Tohir jadi dicalonkan sebagai cawapres Prabowo Subianto? Sebab, selama ini, ia memang banyak diduga akan menjadi pendamping Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan maupun Prabowo Subianto dari Gerindra.
Atau isu Pildun U17 di Indonesia kalah dengan persoalan kekerasan bersenjata antara Hamas Palestina dengan Israel?. Kekerasan yang telah menelan korban tewas lebih dari 10 ribu jiwa dan meninbulkan gelombang unjuk rasa di seluruh dunia? Perang yang melukai nikai kemanusiaan.
Saya pernah menemani klub sepakbola yang lolos dalam Final Danone Cup Turnamen. Yang mempertandingkan klub sepakbola dari berbagai akademi dan Sekolah Sepakbola (SSB). Atau klub sepakbola kelompok umur U-12. Kebetulan, saat itu, ada SDB dari Surabaya yang lolos untuk babak final di Perancis.
Tentu, karena sepakbola anak, maka gempitanya jauh dibandingkan dengan kelompok umur dewasa. Penontonnya sebagian besar orang tua yang mendampingi anak-anak peserta turnamen. Apalagi, turnamen itu hanya digelar oleh produk industri. Bukan digelar secara resmi oleh rezim sepakbola dunia seperti FIFA.
Semestinya, berapa pun kelompok umur yang dipertandingkan gelaran Pildun U17 menjadi momentum kita untuk rebranding negara dan kota. Momentum memasarkan pariwisata yang ada di negeri ini. Momentum daerah yang menjadi tempat bertanding untuk menggerakkan partisipasi warga.
Yang terakhir ini yang terasa kurang. Kita tidak tahu apakah hal ini karena kurangnya kepiawian kita dalam memanfaatkan momentum? Atau keterbatasan kreatif kita? Atau karena kita semua sedang lebih disibukkan persoalan politik terkait pilpres? Atau lebih karena kita gagal menggerakkan partisipasi warga untuk memanfaatkan momentum ini?
Pastinya momentum tak datang setiap saat. Meski momentum bisa diciptakan oleh orang-orang yang cerdas dan cerdik-pandai. Jadi sayang jika momentum Pildun U-17 tak bisa kita manfaatkan secara optimal.
Advertisement