Greenpeace: Hutan Seluas Belanda Terbakar di Indonesia
Hutan tropis dan lahan gambut dengan luas lebih dari negara Belanda terbakar di Indonesia selama lima tahun terakhir.
Laporan Greenpeace menyebut kebakaran terjadi lantaran perizinan pada perusahaan kertas dan minyak sawit yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Joko Widodo, mempermudah industri bergerak dengan impunitas, meski perusahaan tersebut juga bertanggungjawab pada kebakaran hutan.
Dalam laporan yang dirilis pada Kamis, 22 Oktober, kelompok konservasi lingkungan ini menyebut sedikitnya 4,4 juta hektare terbakar di antara 2015 hingga 2019, dilansir dari Al Jazeera.
Sepertiga dari wilayah itu berada di wilayah konsesi perkebunan sawit dan perusahaan kertas, kata Greenpeace mengutip analisis peta resmi mereka.
Greenpeace melanjutkan, pemerintah sebelumnya berjanji akan menindak perusahaan yang sengaja membakar hutan di lahan konsesi. Pernyataan ini dikeluarkan pada krisis kebakaran hutan di tahun 2015, saat Indonesia mengekspor asap yang berdampak pada jutaan penduduk termasuk di Singapura, dan Malaysia. Namun, "Perusahaan minyak sawit dan kertas tetap beroperasi dengan sedikit sanksi atau bahkan tidak ada," kata Greenpeace.
Tak ada sanksi yang diberikan pada delapan di antara 10 perusahaan sawit dengan kebakaran terbesar di lahan konsesi, antara 2015 hingga 2019.
Produk baru yang dikeluarkan oleh legislatif dan eksekutif dalam bentuk Omnibus Law, lanjut Greenpeace, memperparah kondisi tersebut. Undang-undang Cipta Kerja melemahkan keberadaan tindakan kejahatan lingkungan, "sebab perusahaan sawit dan kertas akan dihindarkan dari tanggung jawab atas kerusakan yang telah dibuat sebelumnya atas lahan gambut di Indonesia," lanjutnya.
Undang-undang yang menyulut ratusan ribu protes warga Indonesia di berbagai daerah itu, juga disebut mellindungi sektor perkebunan untuk bertanggungjawab pada kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan di dalam wilayah konsesi mereka, di masa depan.
"Perusahaan sawit dan kertas multinasional telah mengatur hukum di dekade terakhir. Mereka mematahkan aturan dengan membuat hutan terbakar, namun mereka tak pernah mendapat hukuman," kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.
"Upaya seperti Omnibus Law, yang mengabaikan masyarakat dan melihat alam sebagai sumberdaya paling bawah yang harus dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan singkat, hanya membawa kerusakan besar pada kesehatan manusia, hak asasi, dan iklim," tambahnya sambil mendorong agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan veto atas Omnibus Law.
Diketahui, Indonesia dengan hutan yang luas di bawah Amazon dan Kongo, adalah produser minyak sawit terbesar di dunia. Setiap tahunnya industri itu berkaitan dengan praktik tebang dan bakar yang digunakan untuk membersihkan area untuk ditanami sawit.
Tiga dari lima perkebunan sawit, menurut Greenpeace, memiliki area kebakaran yang paling luas di lahan konsesi mereka, sejak 2015 hingga 2019. Perkebunan itu menyuplai perusahaan milik konglomerat Indonesia seperti Sinar Mas Group, serta perusahaan kertas terbesar Asia Pulp & Paper (APP).
juru bicara APP, yang juga bagian dari Sinar Mas Group, mengatakan pada Reuters jika APP telah mengeluarkan sebesar USD150 juta untuk manajemen sistem kebakaran. Perusahaan itu juga terus membantu komunitas lokal melakukan transisi untuk meninggalkan praktik tebang dan bakar, dan menggantinya dengan metode yang lebih berkelanjutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia belum memberikan komentar.
Pada Februari, Jokowi meminta pemerintah untuk menemukan solusi permanen mengatasi kebakaran tahunan, dan meminta agar meningkatkan patroli dari petugas keamanan, di wilayah yang rentan terbakar. Namun, pada Juni, KLHK mengatakan memutus anggaran untuk patroli kebakaran hutan lantaran bujet yang dikurangi untuk mengatasi pandemi. (Alj)