Green Woman Desak KTT G20 Fokus Bahas Bahaya Batu Bara
Sejumlah perempuan yang menggelar aksi di depan Gedung Konsulat Jenderal Jepang, bilangan Jalan Sumatra, Surabaya, Rabu, 26 Juni 2019. Mereka membawa poster dan spanduk bernada protes pendanaan proyek batu bara.
Mereka yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Perempuan Lakardowo Mandiri (Green Woman) tersebut menuntut agar tema lingkungan dan energi menjadi perhatian utama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara, yang tergabung dalam G20 di Jepang, 28-29 Juni 2019 mendatang.
Korlap aksi, Aziz, mengatakan hal itu harus menjadi fokus KTT G20 lantaran kedaruratan situasi bumi terkait persoalan lingkungan membutuhkan aksi-aksi percepatan, ketegasan, dan berorientasi keadilan.
"Kami mendesak masyarakat sipil kepada negara-negara peserta untuk mengubah kebijakan terkait lingkungan dan energi, terus digaungkan dalam ajang menyambut forum seperti G20. Walaupun prakteknya masih jauh dari harapan," kata dia.
Salah satu persoalan dasar yang perlu terus didorong oleh pihaknya adalah terkait kebijakan energi global yang masih didominasi dan mengandalkan pada sumber-sumber energi fosil, swoerti batubara, gas, dan minyak.
Kebijakan energi tersebut, bagi Green Woman, telah mengakibatkan serangkaian masalah, dari menyumbang emisi CO2 sebanyak 40 persen, praktek lancing korupsi, hingga menimbulkan persoalan lingkungan dan masyarakat di tingkat tapal.
"PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) batubara misalnya, diidentifikasi menyumbang lebih dari 1/3 emisi terkait energi saat ini hingga tahun 2040," jelas Aziz.
Hal itu, ditambahagi dengan kondisi di Indonesia sendiri, yakni banyaknya PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) yang berdiri serta dalam proses pembangunan. Data Green Woman menyebutkan, proyek-proyek ini merupakan bagian dari investasi negara G20 seperti China, Korea Selatan, dan Jepang.
"PLTU dan PLTGU tersebut banyak yang merupakan investasi dari negara Asia yang tergabung dalam G20, seperti China, Korea Selatan dan Jepang," ujar Aziz lagi.
Hal itu, lanjutnya, menjadi ironis ketika dampak-dampak langsung yang dialami oleh masyarakat menjadi seolah diabaikan.
Persoalan-persoalan yang timbul seperti masalah kesehatan akibat dari pencemaran air dan udara akibat tambang dan pembangkit listrik, perampasan lahan dan mata pencaharian, hilangnya situs-situs budaya, hingga masalah kasus kematian anak seperti dinafikan baik oleh pemerintah atau korporasi-korporasi tersebut.
Belum lagi masalah plastik yang kini menjadi isu hangat di tingkat global, hanya berujung pada perubahan pola konsumsi individu tanpa ada advokasi secara fundamental terhadap kebijakan sektor energi fosil sebagai bahan pembuatan plastik.
Salah satu bukti nyata dampak buruk limbah B3 batu bara bagi lingkungan, terjadi di daerah Lakardowo, Mojokerto. Masyarakat di sana bahkan harus berjuang menghadapi pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan penimbun limbah di kawasan tersebut.
Masyarakat di Lakardowo, kata Aziz, sudah tidak bisa menikmati air bersih, udara yang sejuk dan tanah yang subur. Sedikitnya ada 50 titik timbunan limbah batu bara di wilayah desa Lakardowo.
"Hal ini telah merugikan masyarakat Lakardowo yang mayoritas bekerja sebagai petani," sambungnya.
Sementara itu di sela aksi, massa kemudian ditemui oleh perwakilan Konjen Jepang. Sedikit ada tiga poin yang Green Woman sampaikan. Yakni meminta perwakilan indonesia untuk meminimalisir penggunaan batu bara, meminta jepang tidak mendanai segala proyek yang berhubungan dengan batu bara, dan menghentikan pemakaian batu bara.
Aziz mengatakan, ini merupakan rangkaian aksi yang digelar di beberapa daerah. Aksi serupa juga digelar pada 21 Juni lalu di depan kantor perusahaan energi Jepang di Jakarta, dan 26 Juni di Kedubes Jepang di Ibu Kota. (frd)