Grand Syeikh Al-Azhar: Yang Berilmu Dalam Bisa Lakukan Pembaruan
Konferensi Internasional Al-Azhar menghasilkan sejumlah rumusan terkait pembaharuan pemikiran Islam. Ada 29 rumusan yang dibacakan oleh pemimpin tertinggi Al-Azhar, Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib.
Delegasi Indonesia terdiri dari Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, Prof Dr. KH. Quraish Shihab, Dr. TGB. H. Muhammad Zainul Majdi dan Dr. H. Muhklis Hanafi.
Pembaruan adalah pekerjaan rumit, hanya bisa dilakukan oleh orang yang ilmunya mendalam. "Siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk itu agar menjauhinya, sehingga tajdiid (pembaruan) tidak berubah menjadi tabdiid (pengaburan)," tutur Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib, dikutip ngopibareng.id, Rabu 5 Februari 2020.
Untuk itu, secara bersambung ngopibareng.id menghadirkan rumusan Al-Azhar tersebut, sebagai bagian rumusan Islam Wasathiyah yang diperjuangkan ulama Indonesia.
Berikut ini Rumusan Hasil Konferensi Internasional Al-Azhar:
Bismillahirrahmanirrahim
DEKLARASI KONFERENSI INTERNASIONAL AL-AZHAR TENTANG PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah beserta segenap keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti tuntunannya hingga hari Pembalasan.
Berangkat dari keyakinan Al-Azhar terhadap keniscayaan pembaruan permasalahan agama, keharusan meniti jalan syariat untuk mengimbangi hal-hal baru, dan demi mewujudkan kepentingan masyarakat umum dalam berbagai bidang, Al-Azhar mengundang para ulama terkemuka dari segala penjuru dunia untuk menyelenggarakan konferensi internasional dalam rangka membahas masalah “Pembaruan Pemikiran Islam” pada tanggal 2-3 Jumadilakhir 1441 H, bertepatan dengan tanggal 27-28 Januari 2020 M, bertempat di Gedung Pusat Konferensi Al-Azhar, Nasr City, Kairo.
Presiden berkenan mengayomi konferensi ini dan membukanya melalui sambutan atas nama beliau yang disampaikan oleh Perdana Menteri Dr. Mustafa Madbouly.
Selama dua hari berturut-turut, konferensi menggelar tujuh sesi diskusi untuk membicarakan masalah-masalah pembaruan dan hal lain yang terkait dengan itu.
Untuk melanjutkan perjalanan Al-Azhar dalam pembaruan pemikiran dan pembaruan fikih sesuai metode wasathiyah yang sudah menjadi ciri khasnya, para ulama Al-Azhar mendeklarasikan dari pelataran Al-Azhar ke seluruh dunia beberapa hal sebagai berikut:
1. Pembaruan merupakan salah satu unsur yang melekat pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan, dan bertujuan untuk merespons hal-hal baru dari waktu ke waktu dan mewujudkan maslahat umum masyarakat.
2. Teks-teks keagamaan yang bersifat pasti ketetapannya (qath‘iyyu ats-tsubuut) dan pasti secara makna (qath‘iyyu ad-dalaalah) tidak bisa dijadikan objek pembaruan dalam keadaan apa pun, sedangkan teks-teks keagamaan yang maknanya bersifat dhanniy (mengandung dugaan kuat) maka itulah yang menjadi wadah ijtihad. Fatwa tentang itu dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu, tempat, dan adat kebiasaan masyarakat, dengan syarat pembaruan yang dilakukan sejalan dengan prinsip dan kaidah umum syariat, serta kepentingan umum.
3. Pembaruan adalah pekerjaan rumit, hanya bisa dilakukan oleh orang yang ilmunya mendalam. Siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk itu agar menjauhinya, sehingga tajdiid (pembaruan) tidak berubah menjadi tabdiid (pengaburan).
4. Aliran-aliran ekstrem dan kelompok-kelompok teroris pro- kekerasan, semuanya bersepakat menolak pembaruan. Propaganda mereka berdiri di atas pemalsuan pemahaman dan manipulasi istilah-istilah agama seperti konsep mereka mengenai sistem pemerintahan, al-haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), hijrah, jihad, perang, dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan mereka.
Mereka juga banyak melanggar prinsip-prinsip agama dalam bentuk pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan. Akibatnya, wajah Islam pun tercoreng di mata orang-orang Barat dan orang-orang Timur yang berpandangan seperti mereka.
Banyak pihak menghubung-hubungkan kelakuan mereka yang menyimpang itu dengan ketentuan hukum syariat Islam, sehingga merebak apa yang disebut dengan Islamophobia di Barat. Oleh karena itu, lembaga dan masyarakat wajib mendukung negara untuk menumpas bahaya kelompok-kelompok itu.
5. Di antara pangkal kekeliruan berpikir kelompok-kelompok itu adalah penyamaan antara masalah-masalah akidah dengan hukum-hukum fiqih yang bersifat praktis, seperti anggapan bahwa perbuatan maksiat adalah kufur dan menganggap sebagian perbuatan mubah sebagai kewajiban. Inilah yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan yang luar biasa dan sangat memperburuk citra Islam dan syariatnya.
6. Konsep Haakimiyyah menurut kelompok-kelompok ekstrem adalah bahwa kewenangan untuk memutuskan hukum hanya milik Allah. Siapa yang memutuskan hukum berarti telah menyaingi Allah dalam wewenang ketuhanan-Nya yang paling khusus. Siapa yang menyaingi Allah berarti telah kufur, halal darahnya, karena telah menyaingi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus. Tentu saja ini merupakan penyimpangan yang terang benderang terhadap teks-teks keagamaan yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Sunah yang menguraikan secara gamblang adanya penyerahan wewenang penetapan hukum kepada manusia. Semua keputusan Ahlul halli wal aqdi (pembuat keputusan dan kebijakan) dianggap sebagai ijtihad yang bermuara pada hukum Allah. Ibnu Hazm pernah berkata, “Di antara ketetapan hukum Allah adalah menyerahkan wewenang penetapan hukum kepada selain Allah.” Hal itu seperti tersebut dalam firman Allah Swt., “Maka kirimlah seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (juru damai) dari keluarga perempuan.” (An-Nisa'/4:35). Demikian juga firman Allah yang artinya, “…. Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Al-Ma'idah/5:95).
Dengan demikian, pandangan masyarakat tentang konsep haakimiyyah harus diluruskan dengan cara menyebarkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dan penjelasan bahwa putusan hukum yang diambil oleh seorang manusia yang patuh terhadap prinsip-prinsip agama tidak bertentangan dengan hukum Allah, bahkan termasuk bagian dari hukum Allah. (bersambung)