Grand Syaikh Al-Azhar, Bersama Bung Karno ke Puan Maharani
Kunjungan Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) ke Al-Azhar, Kairo, Mesir menyisakan sebuah kisah menarik tentang Bung Karno. “Saya sangat mengenal Bung Karno sejak sekolah SMA dan saya senang sekali hari ini bisa berjumpa dengan Cucu Bung Karno. Kita tahu bahwa Sukarno sebagai inisiator KTT Asia Afrika di Bandung,” ujar Syaikh Ahmed Tayyeb, Grand Syaikh al-Azhar.
Demikian pengakuan tulus dari tokoh Islam di Mesir itu, sebagaimana diberitakan ngopibareng.id.
Syaikh Ahmed Tayyeb tidak hanya menerima Puan Maharani dalam kapasitasnya sebagai Menteri PMK, melainkan lebih dari itu sebagai cucu Bung Karno. Pesona Bung Karno masih tertulis dengan tinta emas dalam sanubari Grand Syaikh al-Azhar.
Terlihat sekali pertemuan tersebut penuh kekeluargaan dan kehangatan, tidak seperti kunjungan resmi kenegaraan bersama ulama nomor wahid di dunia itu. Pertemuan yang penuh makna historik sekaligus kontekstual untuk merajut hubungan antara Indonesia-Mesir, termasuk untuk membangun poros mondial Islam Moderat.
Dalam tulisannya “Bung Karno dan Al-Azhar Mesir”, Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU yang hadir dalam kegiatan tersebut memberikan ulasan. Berikut di antaranya:
Memang, Bung Karno berada di hati setiap warga Mesir, tidak terkecuali para ulama al-Azhar. Saat kuliah di al-Azhar dari tahun 1995 hingga 1999, saya mendengarkan langsung betapa kagumnya warga Mesir pada sosok Bung Karno. Setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa asal Indonesia, sontak orang Mesir akan berkata, “Sukarno”. Indonesia dan Sukarno sudah menjadi dalam satu tarikan nafas dan batin setiap warga Mesir.
Bahkan ada salah satu jus mangga asli yang tersedia di hampir di seluruh gerai jus buah-buahan di Mesir yang menyediakan jus mangga super manis. Mangga itu didapatkan dari kebun mangga di Ismaelia. Orang-orang Mesir menyebut jus itu dengan sebutan “jus mangga Sukarno”. Konon, Sukarno yang membawa bibit mangga harum manis ke Mesir dalam kunjungannya ke Mesir pada tahun 50-an. Ajaibnya, pohon mangga itu terus berbuah manis, menjadi simbol kedekatan antara Indonesia-Mesir, sehingga di kawasan Mohandesen ada sebuah jalan Sukarno. Mangga Sukarno menjadi oase di musim panas yang sangat terik. Manisnya menjadi energi bagi setiap warga Mesir.
Selain kisah tentang mangga Sukarno yang sangat populer itu, sebenarnya ada kisah yang tidak diketahui oleh publik di Tanah Air. Yaitu, kisah Bung Karno mendapatkan penghargaan Doctor Honoris Causa dari al-Azhar, Mesir. Al-Azhar sebagai pusat peradaban Islam tersohor pun mengakui ketokohan Bung Karno.
Ketika Bung Karno mendarat di Mesir pada 22 April 1960, terlihat penyambutan yang sangat luar biasa. Sepanjang jalan dari Bandara Al-Madzah menuju istana kepresiden orang-orang menyambut kedatangan Bung Karno dengan semboyan-semboyan patriorik, “Hidup Soekarno Pendekar Bandung”, “Hidup Pahlawan Perdamaian”, “Selamat Datang Penulis Sejarah Baru Asia-Afrika”, dan “Hidup Persaudaraan Indonesia-Mesir”. Atas sambutan yang luar biasa itu, Koran al-Gomhouria pada tanggal 23 April 1960 menulis headline, Al-Qahirah Kharajat Tuhayyi al-Rais Soekarno (Warga Kairo Berhamburan Keluar dari Rumah Menyambut Kedatangan Presiden Soekarno).
Pada Minggu, 24 April 1960, Bung Karno resmi mendapatkan penghargaan Doctor Honoris Causa dari al-Azhar, Mesir. Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Mahmoud Syaltut langsung memberikan penghargaan tersebut. Bung Karno terlihat memakai baju kebesaran al-Azhar, layaknya pakaian para ulama al-Azhar. Menurut Syaikh Mahmoud Syaltut, Bung Karno adalah tokoh yang telah berjuang menyebarkan dakwah Islam, membantu kemanusiaan dan perdamaian demi mewujudkan tujuan risalah dari langit kepada agama-agama.
Dalam pidatonya, Bung Karno mengucapkan terima kasih kepada Mesir yang dengan tulus menjadi negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan RI merupakan tali kasih dan persahabatan yang kokoh antara kedua negara-bangsa yang akan terus diwariskan kepada anak cucu hingga di akhir masa.
Yang menarik dari pidato Bung Karno di al-Azhar pada tahun 1960 itu adalah penjelasan Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno dengan sangat fasih menjelaskan perihal Pancasila sebagai keniscayaan filosifis bagi Republik Indonesia yang bhineka. Sila-sila di dalam Pancasila merupakan manifestasi dari nilai-nilai Islam.
Bung Karno menjabarkan pentingnya nilai-nilai untuk menjadi motor penggerak bagi perjuangan dan membangunan kerjasama dunia internasional. Sebab itu, Bung Karno menegaskan pentingnya membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai luhur, seperti Pancasila, sebelum membangun dimensi material.
Para ulama terkesima mendengarkan uraian menggelegar Bung Karno tentang Pancasila sebagai common platform. Konon, Gamal Abd Nasser berfikir ingin mengimpor Pancasila sebagai dasar negara Mesir, karena konteksnya hampir sama dengan Indonesia dalam hal kebhinekaan agama, suku, dan aliran politik. Tapi sayang Nasser belum sempat merealisasikan keinginannya karena dihadapkan pada krisis ekonomi dan perang melawan Israel yang berhasil melengserkannya dari kursi kepresidenan.
Bahkan ada kisah menarik yang terekam sayup-sayup, bahwa Gamal Abd Nasser sedang galau menghadapi al-Azhar yang mulai mengambil sikap oposisi terhadap dirinya. Ia punya rencana membubarkan al-Azhar, karena dianggap dapat menjadi lawan politiknya. Bung Karno yang mendengar rencana tersebut, langsung menasehati Nasser untuk tidak membubarkan al-Azhar, karena al-Azhar merupakan benteng peradaban Islam yang perannya mencerahkan umat.
Nasehat Bung Karno kepada Gamal Abd Nasser tersebut terbukti sekarang ini, karena al-Azhar menjadi jimat stabilitas politik dan harmoni Mesir, bahkan dunia Islam dan dunia internasional. Al-Azhar telah terbukti menyelamatkan Mesir dari perpecahan dan fitnah pasca-musim semi. Tidak hanya itu, al-Azhar terus menjadi benteng moderasi Islam yang kokoh.
Maka dari itu, kunjungan Puan Maharani ke al-Azhar yang hendak menggandeng al-Azhar untuk membentuk kurikulum Islam Moderat di lembaga pendidikan kita merupakan sebuah muhibah kedekatan kedua negara, terutama kedetakan Bung Karno dan al-Azhar. *